Kompetisi Tak Pernah Bohong
TAK ada yang berhak kecewa atas kegagalan tim nasional Indonesia di final Piala AFF 2020. Melaju ke final itu sendiri, bagi mereka yang paham sepak bola, adalah pencapaian prestasi tersendiri.
Tak ada yang menyangka Indonesia bisa melaju ke final. Jika kita melihat penampilan lawan Vietnam di penyisihan grup, kita masih kalah kelas. Selamat hanya karena parkir bus. Pada laga kedua semifinal lawan Singapura, jika kedua tim menyudahi laga 11 pemain lawan 11 pemain, entah bagaimana nasib Evan Dimas dan kawan-kawan.
Mereka yang kecewa dengan kegagalan ini hanyalah mereka yang memiliki ekspektasi berlebihan. Padahal, timnas masih kalah kelas dibanding Thailand, bahkan Vietnam.
Sebaliknya, hasil ke final ini sebenarnya sudah patut disyukuri. Bukan hanya karena tampil di laga pamungkas, melainkan karena kita kini memiliki harapan yang lebih baik. Tim ini dihuni sebagian besar pemain muda. Bahkan sebagian baru bergabung di timnas.
Dari sisi gaya permainan, meski masih labil, mereka kerap menyajikan permainan yang memikat. Para pelatih lawan malah memuji penampilan timnas sebagai di luar dugaan.
Harap dicatat, roman timnas adalah cerminan dari kompetisi dan gaya pembinaan sepak bola kita. Sejauh ini, roman itu masih menjadi warna utama timnas kita.
Roman apa? Kita kesulitan mencari pemain yang memiliki fungsi-fungsi vital dalam sebuah tim. Semua terjadi karena kompetisi kita memaksa kita untuk memiliki kelemahan-kelemahan dimaksud.
Shin Tae-yong, misalnya, menyebut salah satu kelemahan itu adalah di sektor penyerangan. Kita tak punya striker mematikan. Sebab, posisi itu di klub-klub kita ditempati para pemain asing.
Tak percaya? Tengok fakta ini. Dari 10 pencetak gol terbanyak Liga 1, hanya dua pemain nasional kita bercokol di situ. Dari dua pemain yang masuk 10 besar itu, Ilja Spasojevic, pemain naturalisasi itu, sudah terlalu berusia untuk tim nasional. Hanya Irfan Jaya yang berada di posisi kedua dengan enam gol.
Shin Tae-yong mungkin tak bicara, tapi dua posisi inti lainnya juga lemah karena sistem kompetisi. Keduanya di sektor bek sentral dan pengatur permainan. Alfeandra Dewangga, pilar di jantung pertahanan, boleh jadi pemain “tak sengaja” masuk tim nasional. Jika dia tak bisa main, penggantinya pun tak lebih baik.
Pun pengatur serangan. Kita hanya punya Evan Dimas. Begitu dia tak bisa main, kita tak punya pemain yang bisa mengatur irama permainan.
Persoalannya sama: di dua posisi itu, klub-klub Liga 1 lebih banyak memberi peluang pada pemain asing. Akibatnya, Shin Tae-yong pun kesulitan mencari pemain yang pas untuk itu.
Kompetisi tak pernah berbohong. Dia menjadi gambaran untuk tim nasional kita. (*)