Kita Sang Keledai Dungu
Dalam konstalasi politik Kota Bekasi, Mochtar Mohamad, diakui atau tidak, adalah atau setidaknya pernah jadi patron politik Rahmat Effendi. Sialnya, itu pun berlanjut ke persoalan hukum. Inilah tragedi bagi Kota Bekasi.
Duet Mochtar Mohamad-Rahmat Effendi adalah Wali Kota-Wakil Wali Kota Bekasi periode 2008-2013. Sebelumnya, pada Pilkada Kota Bekasi pertama, Mochtar Mohamad yang politisi PDIP, adalah Wakil Wali Kota Bekasi untuk Akhmad Zurfaih, politisi Partai Golkar.
Setahun sebelum menuntaskan tugasnya, Mochtar dicopot. Dia terjerembab kasus korupsi. Dihukum enam tahun. Rahmat kemudian jadi Plt Wali Kota dan memenangkan Pilkada Kota Bekasi setahun kemudian.
Seperti Mochtar, Rahmat juga politisi populis di Kota Bekasi. Tidaklah mengherankan, dia memenangkan pilkada secara beruntun dua kali. Tapi, sebagaimana Mochtar, dia juga terjerembab persoalan hukum. Politisi Partai Golkar asal Pekayon itu dikabarkan terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tanda-tanda pemerintahan Rahmat bermasalah sebenarnya sudah mulai tercium ketika Pepen –sapaan akrabnya-- berhenti pada periode pertama. Ruddy Gandaksumah yang ditunjuk jadi Plt Wali Kota Bekasi, mendapat perlawanan hebat. Kuat dugaan, orang-orang yang menentang saat itu adalah bagian dari rezim Pemkot Bekasi.
Kini, kota dan rakyat Bekasi, harus membayar mahal pilihan pada orang-orang populer, tapi bukan yang terbaik. Orang-orang yang sampai detik ini, kita duga, sebagai yang lebih mementingkan kuasa ketimbang kemaslahatan kota.
Inilah tragedi bagi Kota Bekasi, kota yang oleh pemimpinnya dirasakan lebih ‘DKI Jakarta’ ketimbang ‘Jawa Barat’. Tragedi yang juga dirasakan kabupaten/kota di Jawa Barat yang memilih pemimpinnya berdasarkan popularitas, bukan kapabilitas dan integritas.
Hal serupa juga pernah terjadi di Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, hingga Kabupaten Subang. Para pemimpin di sana, “turun-temurun” terjatuh karena tindakan koruptif yang dilakukan para pemimpinnya.
Banyak rakyat kini lebih senang memilih pemimpin berdasarkan bungkus, bukan isi. Berdasarkan cover, bukan pada konten utamaya. Mereka terperdaya. Mereka tertipu jurus-jurus pencitraan di tengah pentas demokrasi.
Mestinya ini menjadi pembelajaran penting bagi kita. Terutama menjelang 2024, ketika kita harus memilih pemimpin negara, pemimpin provinsi, pemimpin kabupaten/kota.
Hanya keledai dungu yang terjatuh ke lubang yang sama berkali-kali. Sayangnya, sebagian dari kita tetap asyik-asyik saja sebagai keledai dungu itu. (*)