Drama Ferdinand
SEPEKAN terakhir, ranah publik diriuhkan persoalan Ferdinand Hutahaean. Dari situ, kita mendapat banyak pelajaran. Utamanya adalah jika jadi pendengung yang berpihak dengan mata buta, kita harus menyiapkan skenario drama. Meski tak semuanya menguntungkan.
Ferdinand itu penuh drama. Bermacam dalih dia sampaikan ketika kasusnya mulai masuk ke ranah hukum. Tentu saja, patut diduga, drama-drama itu muncul selain untuk menarik simpati, juga untuk mengaburkan persoalan hukum.
Salah satunya adalah cuitannya soal “Allahmu lemah” itu sebagai bagian dari kontemplasi, perbincangan antara alam jiwa dan pikiran. Buat kita, itu tak masuk akal. Media sosial, dengan tendensi jadi pendengung untuk salah satu pihak, tak masuk logika untuk dijadikan catatan kontemplasi.
Lalu, ada pula soal muallaf, cuitan dilakukan saat dirinya berada dalam kondisi yang sakit. Buat kita, itu pun hanya sebagai upaya mencari jalan keluar. Jalan yang kemudian menembus tembok.
Kenapa begitu? Tak sulit menilai apakah pernyataannya itu layak dipercaya atau tidak. Tengok saja cuitan-cuitan yang bersangkutan. Lihat rekam jejaknya, rekam digitalnya. Terlalu banyak sumpah serapah. Apakah itu dilakukan saat jiwanya juga terguncang? Rasa-rasanya tidak. Sebab, sekali waktu, ketika menjadi bagian dari tim kampanye salah satu pasangan capres-wapres, dia menyerang brutal calon dan kelompok lain. Saat berdekatan dengan pendukung pemerintah, dia menyerang tak kalah brutalnya Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, yang difigurkan sebagai tokoh dari kelompok oposisi.
Maka sejak awal, ketika alibi-alibi dia sampaikan, kita berkeyakinan akan mentok, jika hukum ditegakkan seadil-adilnya. Kecuali hukum yang bengkok, lain perkara. Mungkin dia bisa lolos melalui drama-dramanya.
Drama-drama semacam itu membuktikan kepada kita bahwa dia bukan pendengung yang tangguh. Tidak pula memiliki “orang belakang” yang kuat. Beda dengan pendengung-pendengung brutal yang hingga kini belum tersentuh hukum.
Maka, pelajaran dari Ferdinand adalah jika dayung kita tidak kuat, jangan pulalah hendak mengarungi ombak besar di tengah lautan. Sudah hampir pasti akan tenggelam.
Tetapi, yang lebih penting lagi sebenarnya adalah bagaimana bermedia sosial dengan rasa dan perasa yang baik dan indah. Tidak perlu mencaci-maki orang meski orangnya tak membalas. Sebab, sifat semacam itu sekali waktu akan membuat kita kena batunya. Ferdinand, pendengung yang menggambarkan dirinya pecinta NKRI dan Pancasila itu, figur antiradikalisme dan antiintoleransi, justru terjatuh karena itu. (*)