Kumaha Aing
DALAM rapat resmi pemerintahan, tentu saja semestinya menggunakan Bahasa Indonesia. Tapi, tidak juga ada larangan untuk memasukkan idiom-idiom yang berasal dari bahasa daerah, sepanjang tidak mengganggu alur komunikasi.
Apakah Kajati yang dimaksud Arteria Dahlan itu menggunakan Bahasa Sunda sepanjang rapat atau hanya satu-dua kalimat, kita belum jelas juga. Jika dari A-Z menggunakan bahasa daerah, tentu kurang pada tempatnya. Tapi, kalau hanya satu-dua kalimat, apatah salahnya. Sekadar penghangat suasana saja.
Bahasa Indonesia itu bahasa kita. Unsur utamanya dari Bahasa Melayu. Tapi, serapannya begitu banyak dari bahasa daerah lain. Tak apa. Itu memperkaya Bahasa Indonesia.
Kalau jarang dipakai dalam komunikasi, tentu Bahasa Indonesia tak mengenal kata “pangling”, “nyeri”, “mending”, atau “meriang”. Itu kata-kata Bahasa Indonesia yang menyerap Bahasa Sunda. Tak mungkin terserap jika jarang disebut dalam komunikasi resmi, sebagai sebuah penghangat itu tadi.
Kenapa Bahasa Sunda disoal jika dalam ruang rapat, idiom-idiom dari bahasa daerah lain juga ramai bermunculan. Tak perlu juga tersinggung jika saja dalam rapat resmi muncul ucapan-ucapan semacam “kulonuwun”, atau “haturnuwun”, atau “haturnuhun”, atau “tarimo kasih”. Biasa saja. Kita maknai keberagaman itu.
Yang keliru dalam ruang-ruang rapat resmi, termasuk rapat yang dihadiri Arteria itu, adalah tidak menghargai kekayaan Bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Kerap kita dengar pernyataan-pernyataan menggunakan idiom asing, terutama Bahasa Inggris. “Which is”, “on the way”, “by the way”, dan yang sejenis, yang kerap keluar dari mulut wakil-wakil rakyat yang terhormat itu, adalah ungkapan yang tak menghormati Bahasa Indonesia. Rasanya, lebih sering kata-kata asing itu muncul ketimbang kata-kata daerah.
Jadi, jika ada idiom-idiom bahasa daerah, atau satu-dua kalimat bahasa daerah muncul, tak perlulah dipersoalkan sedemikian dalam. Toh, itu sering terjadi di ruang rapat. Bukan hanya menggunakan Bahasa Sunda, tapi juga bahasa daerah lainnya.
Yang lebih parah memang jika situasi semacam itu, sekali lagi jika yang muncul hanya idiom atau satu-dua kalimat, kemudian mendesak Jaksa Agung memegat Kajati. Hemat kita, itu adalah kesombongan parlemen. Tidak pada tempatnya.
Sebab, selain bukan kejahatan, hal-hal semacam itu masih bisa dibicarakan, didiskusikan, ditanyakan. Tidak bisa hanya karena hal-hal sepele yang bukan dimaksudkan untuk mencederai “keindonesiaan”, harus diganjar dengan tindakan kejam seperti itu. Dalam Bahasa Sunda sehari-hari –karena itu mungkin bukan bahasa halus, sikap seperti itu biasa disebut “kumaha aing”. (*)