Langkah Keledai
PENGALAMAN selama hampir dua tahun terakhir membuktikan kita, terutama pemerintah, selalu kalah langkah melawan pandemi. Dan, itu harus dibayar mahal. Tak terhitung besarnya dana yang harus kita keluarkan lawan virus.
Tentu, kita masih ingat, betapa tak sedikit pejabat penting pemerintah, membuat pernyataan abai ketika di negara lain virus sudah merebak. Hampir semua pejabat tinggi negeri ini, sempat membuat pernyataan yang tak sepatutnya. Bercanda, tak tepat, dan kemudian diketawakan publik.
Ketika virus masuk, kita kelabakan. Gelombang pertama datang. Gelombang kedua, dengan varian delta yang dampaknya jauh lebih dahsyat, membuat kita babak belur. Dana terbuang, nyawa ribuan orang melayang.
Kita ini seperti keledai dungu. Terantuk di lubang yang sama sampai dua-tiga kali. Saat varian Omicron merebak di luar negeri, kita –seperti juga pada gelombang pertama—kembali abai. Terlalu percaya diri. Kehilangan orientasi.
Kita tidak melakukan antisipasi. Maka, tengoklah betapa banyak pergerakan manusia pada libur Natal dan Tahun Baru lalu. Berduyun-duyun orang pulang kampung, beramai-ramai orang ke tempat wisata. Tak berkerumun? Omong kosong kalau dalam situasi semacam itu, tak ada kerumunan.
Kita juga abai menutup pintu. Kebijakannya juga selalu berubah-ubah. Hari ini tempe, sore kedele, kata orang. Maka, Omicron mulai muncul. Awalnya dibawa mereka yang datang dari luar negeri. Kini, sudah terjadi transmisi lokal.
Apakah karena Omicron tak seganas Delta? Belum tentu juga. Seorang epidemiolog menyatakan dampak Omicron tak terlalu mengkhawatirkan karena banyak orang sudah menjalani vaksinasi. Jadi, imunitas mulai muncul.
Toh, Omicron juga bisa mencerabut nyawa. Kementerian Kesehatan melansir akhir pekan lalu, dua orang meninggal dunia karena Omicron. Di Tangerang Selatan dan di Jakarta.
Maka, sudah pasti satu hal yang harus kita bayar mahal karena kelalaian itu, yakni menguras kembali sumber daya yang luar biasa. Lalu? Lalu, kemudian selalu rakyat yang dipersalahkan. Padahal, pemimpin itulah yang tak menunjukkan stabilitas kebijakan. Pemimpin itulah yang tak memberi contoh yang baik.
Tengoklah, ketika Omicron sudah mulai masuk, dan diyakini sudah mulai merebak lewat transmisi lokal, pintu masuk yang beberapa sempat ditutup, kini terbuka bagi seluruh negara. Dari sisi kesehatan, jelas itu logika terbalik.
Kemudian, tidak juga kita lihat kebijakan-kebijakan yang cukup drastis untuk meredam virus. Tengok saja, ketika nanti Omicron mulai merajalela, baru kemudian muncul kebijakan-kebijakan yang menunjukkan kelimpungan. (*)