Ali Sadikin
Jika ada jabatan publik di Indonesia yang sama berat atau bahkan lebih berat dari presiden, maka itu adalah ketua umum PSSI. Tak ada yang berhasil di situ. Di kalangan wartawan senior, muncul anekdot: jika ada pejabat pemerintah berani jadi ketua umum PSSI, maka dia sedang menggali kuburannya sendiri.
Ali Sadikin pun bukan pengecualian. Dia mundur 14 bulan sebelum masanya berakhir. “Sayalah yang bertanggung jawab atas kegagalan ini, bukan orang lain,” katanya di depan peserta Kongres PSSI 1981.
Padahal, apa kurangnya Ali Sadikin? Menteri Perhubungan Laut Orde Lama. Dianggap sebagai Gubernur DKI Jakarta paling berhasil. Sehingga siapapun gubernur berikutnya, Ali Sadikin selalu jadi tolok ukur. Belum ada seperti dia. Yang ada baru yang mematut-matut, atau dipatut-patutkan.
Ali Sadikin termasuk salah satu tokoh Sunda di pelataran nasional. Dia panutan, meski kadang juga kontroversi. Itulah sebabnya, Pemprov DKI Jakarta bersama Pemkab Sumedang mengusulkannya jadi pahlawan nasional.
Dia memang berasal dari keluarga hebat. Ayahnya, Raden Sadikin, mantri pertanian di Tomo. Kakaknya, Hasan Sadikin, namanya diabadikan sebagai rumah sakit terbesar di Jawa Barat, di Kota Bandung.
Dia juga orang baik. Dialah yang menjadikan Bung Hatta sebagai warga kehormatan DKI Jakarta, sehingga terbebas dari PBB, tagihan listrik dan air minum, saat sang proklamator pensiun dan kesulitan membayarnya.
Tetapi, jejak Ali Sadikin kecuali turunannya tak banyak tersisa. Rumah tempat dia lahir sudah jadi milik orang lain. Yang tersisa di Kampung Cangkudu tinggal foto kusam dan guntingan berita korannya.
Ali Sadikin harus “diselamatkan”, sebagaimana Hasan Sadikin sudah “terselamatkan”. Jejaknya harus ada, terutama di kota kelahirannya.
Pengusulan nama Jalan Tol Cisumdawu menjadi Jalan Tol Ali Sadikin, hemat kita, bukan hanya sebuah kehormatan bagi Ali Sadikin, tapi kewajiban bagi anak cucunya: kita-kita ini.
Di sisi lain, negara juga harus mengakui dan mengabadikan nama orang-orang yang telah berjasa. Tak bisa satu-dua orang saja. Itu nanti bisa memunculkan kecenderungan kultus individu. Negara ini dimerdekakan, dijaga, dan dibangun oleh banyak orang, termasuk Ali Sadikin.
Kita meyakini, pemerintah pusat takkan keberatan melekatkan nama Ali Sadikin sebagai nama Tol Cisumdawu. Pertama, karena nama Ali Sadikin memang layak untuk itu. Kedua, secara politik, suasananya juga tepat. Bukankah Ali Sadikin, sebagaimana juga Presiden Joko Widodo dan rata-rata petinggi negeri, adalah pengagum Bung Karno? (*)