Jin Buang Anak
Benarlah, lebih sulit mempelajari bahasa sendiri ketimbang bahasa asing. Tampaknya, alokasi jam belajar Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah mesti dilipatgandakan agar kita, termasuk anak-anak, betul-betul bisa mendalami bahasa sendiri.
Tak percaya? Kini sedang ramai dibicarakan istilah “tempat jin buang anak”. Kita ribut karena tak bisa memaknai istilah itu. Bisa juga, dipolitisasi agar orang tak memaknainya dengan benar. Maka, dia kemudian dipaksakan disebut sebagai sebuah penghinaan.
Apakah jin punya anak? Akal kita yang terbatas tak bisa memastikannya. Kita hanya bisa menjawab dengan keyakinan-keyakinan keagamaan. Lha, melihat induk jin saja kita tak bisa, apalagi melihat anak-anaknya. Tempat jin buang anak itu hanya istilah. Perumpamaan. Dipakai masyarakat Melayu Palembang atau bisa juga warga Betawi Jakarta. Sering dipakai masyarakat Melayu, yang dulu kita sepakati bahasa mereka sebagai dasar Bahasa Indonesia. Dia menggambarkan tempat yang jauh dan sepi.
Dulu, ketika daerah pinggiran DKI Jakarta mulai berkembang –terutama kawasan Tangerang, Depok, dan Bekasi, sebagian orang juga menyampaikan istilah yang sama. Saat itu, selain karena masih sepi dan terasa jauh, transportasi publik juga sulit. “Elu pindah kemana? Ah, itu mah daerah tempat jin buang anak,” begitu ungkapan sering terucap. Tak ada yang marah. Tak ada yang merasa sebagai ujaran kebencian. Sebab, kawasan baru itu memang jauh dan sepi. Sering diumpamakan sebagai daerah tempat jin buang anak.
Repot kalau kita memaknai perumpamaan dengan bahasa yang lurus. Dua orang yang selalu bertengkar, misalnya, kerap disebut “seperti anjing dengan kucing”. Bahaya besar kalau dimaknai secara lurus lempeng begitu saja. Sebab, tentu akan muncul pertanyaan berikutnya: siapa anjingnya, siapa kucingnya? Jika dulu perumpamaan-perumpamaan seperti itu tak melahirkan masalah, kenapa kini jadi problem besar? Kita menduga ada dua sebab.
Pertama, pembelajaran Bahasa Indonesia kita memang belum maksimal. Memaknai perumpamaan, peribahasa, atau istilah saja kita gagal. Karena itu, perlu ditambah jam belajarnya. Bukankah Bahasa Indonesia adalah bagian dari simbol NKRI yang kita cintai? Kedua, kita sudah paham, tapi karena kepentingan sesaat, bisa jadi kepentingan politik, kita membelokkan maknanya sesuai keinginan. Salah satunya adalah memaknai “tempat jin buang anak” dengan makna letter lecht. Ya keliru besar. Nanti, misalnya, para atlet bisa marah-marah karena kita sebut mereka berjuang seperti banteng ketaton atau punya semangat baja. Mereka bukan banteng, mereka bukan benda mati seperti baja.