Ambyar Kereta Cepat
DENGAN hanya satu alasan, kita berharap kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB) bisa sukses. Tapi, sialnya, kita sangsi hal itu terwujud.
Satu-satunya alasan kita kereta cepat bisa sukses hanyalah karena duit rakyat ada di investasi itu. Itu melalui penyertaan modal pemerintah pada BUMN-BUMN yang ikut dalam konsorsium. Jalannya berputar-putar, tapi proyek mercu suar itu kini telah menggunakan uang kita.
Lalu, kenapa kita sangsi? Pertama, kita memandang ini tak lebih dari mercu suar. Sekadar gagah-gagahan. Sekadar punya kereta cepat seperti di Jepang atau China.
Sudahlah mercu suar, penyiapannya pun bermasalah. Berubah-ubahnya trayek kereta cepat adalah bukti nyata dari kelayakan studinya jauh dari sempurna. Dari Walini, Tegalluar, dan kini Padalarang. Begitu seringnya berubah-ubah sehingga tiang jalur yang sudah terpasang, terpaksa dibongkar lagi dan menjadi bahan ketawaan yang miris.
Lalu, muncul pula peristiwa ambruknya tanah di Desa Bunder, Purwakarta, lokasi terowongan 2 KCJB. Entah bagaimana studi kelayakannya sehingga jalur kereta cepat berada di atas tanah yang labil itu.
Kita tentu saja berharap, bahkan berdoa, kereta cepat ini sukses. Sebab, kalau gagal, apalagi mangkrak, duit kita sudah tertanam di sana. Potensinya hilang begitu saja. Angkanya pun tak kira-kira.
Tapi, kita tetap sangsi apakah harapan kita itu akan terkabul. Salah satunya adalah karena perubahan status ibu kota negara yang segera pindah dari Jakarta ke Penajam Paser Utara-Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur.
Sebelum ibu kota diputuskan pindah, sebagian pihak bahkan sudah khawatir proyek ini takkan banyak bermanfaat. Jakarta-Bandung itu jarak pendek: 130-150 km. Bisa ditempuh 2-3 jam mobil. Bisa 3-4 jam menggunakan kereta api biasa. Ongkosnya lebih murah. Lebih terjangkau masyarakat menengah ke bawah.
Jika kereta api biasa, travel, bus, untuk kelompok menengah ke bawah, bagaimana kereta cepat? Sudah pasti menengah ke atas. Tiketnya saja sekitar Rp400 ribu sekali jalan. Sudah mahal, tidak pula menyentuh pusat kota.
Pada saatnya, sebagian masyarakat menengah ke atas itu, tak lagi punya urusan Jakarta-Bandung. Urusannya Jakarta-Penajam atau Bandung-Penajam. Lalu, mana lagi yang akan jadi pasar kereta cepat? Jika dalam kondisi Jakarta sebagai ibu kota, seorang ahli ekonomi menilai return of investment kereta cepat bisa mencapai 100 tahun, bagaimana setelah sebagian besar aktivitas penting negara ini pindah ke Penajam? Bisa-bisa, kereta cepat jadi ambyar bukan? (*)