Halusinasi Pemekaran
PERTANYAAN itu sungguh menyodok kita. Di hadapan anggota DPD, Sekda Papua, M. Ridwan Rumasukun bertanya: siapa sesungguhnya yang mempunyai ide tentang pemekaran Provinsi Papua? Jika rakyat Papua tak ingin ada pemekaran provinsi, bagaimana ujug-ujug wacana pemekaran tersebut mencuat ke ranah publik? Bahkan, dalam kesempatan tertentu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebutkan pernyataan yang kira-kira isinya pemekaran provinsi Papua tak perlu menunggu pencabutan moratorium.
Ketika Tito menyatakan ihwal moratorium itu, kita sebenarnya sudah bertanya-tanya. Kenapa ada keistimewaan untuk pemekaran provinsi Papua. Bukankah Papua seharusnya setara dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia? Karena itu, sepatutnya menunggu moratorium dicabut. Hukum dan regulasi akan tumpul ketika negara ini terlalu berlimpah hak-hak diskresi yang potensial membedakan yang satu dengan lainnya.
Saking majunya rencana pemekaran itu, sudah ada dua calon provinsi baru di Tanah Papua: Papua Selatan dan Papua Pegunungan. Dasar pemekaran, begitu kata Tito hampir dua tahun lalu, adalah situasional dan data intelijen.
Jadi, bukan rakyat Papua yang menginginkan provinsi baru? Merujuk pernyataan Sekda Papua, rasa-rasanya bukan. Bisa jadi, rakyat setempat hanya ingin ada dua provinsi di wilayah pulau tersebut: Papua dan Papua Barat.
Jika rakyat Papua ingin penambahan dua provinsi, tentu sudah ada surat dari DPRD dan Gubernur Papua. Kalau surat itu ada, rasanya mustahil pula jika pejabat sekelas sekretaris daerah tidak tahu. Dari surat itulah, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan rekomendasi.
Maka, bisa jadi, pemekaran itu bukanlah untuk kepentingan masyarakat Papua. Setidaknya, tak sesuai dengan aspirasi mereka. Bisa jadi, kepentingan pemerintah pusat jauh lebih kuat dalam konteks ini.
Bagaimana daerah-daerah tidak cemburu jika Papua dimekarkan jadi dua atau tiga provinsi, sementara mereka yang sudah siap secara administratif dan kelengkapan, terabaikan begitu saja karena moratorium? Maka, buat kita, ini tak ubahnya seperti halusinasi pemekaran. Apalagi, demi pemekaran tersebut, pemerintah dan DPR kemudian mengubah regulasi tentang syarat-syarat pemekaran kabupaten/kota atau provinsi di Papua berdasarkan UU Otsus.
Tidak elok cara-cara seperti itu dipaksakan karena prinsip pemekaran adalah bagaimana memenuhi kebutuhan daerah. Jika hanya lebih kuat unsur politiknya untuk kesejahteraan masyarakat Papua, berikanlah sepatutnya apa yang mereka inginkan, bukan melulu apa yang diinginkan pemerintah pusat. (*)