Kedele dan Nasib Petani
KRISIS kedele adalah lambang negara gemah ripah loh jinawi subur makmur yang kurang terurus. Tiap saat, setiap negara produsen kedele utama dunia menghadapi kendala, maka persoalan menusuk hingga lapisan terbawah warga kita.
Saat ini, misalnya, harga kedele impor melesat tajam. Jika sebelumnya hanya Rp8 ribu perkilogram, kini naik menjadi Rp11 ribu. Naik hampir 50%. Sudah sekitar dua minggu situasi itu berlangsung.
Apa yang terjadi? Di penjuru negeri masyarakat berteriak. Kedele adalah bahan baku utama tempe dan tahu. Tempe dan tahu tak hanya menyuplai gizi masyarakat, juga menjadi penghidupan sebagian warga. Maka, rantainya jelas terganggu di depan mata.
Situasi ini diperparah karena harga minyak goreng yang melambung tinggi, belum sepenuhnya tuntas. Ibaratnya, kesulitan rakyat datang silih berganti, bak gelombang laut yang tiada pernah berhenti.
Apa sebabnya? Salah satunya karena kita sangat bergantung pada kedele impor. Dari Amerika Serikat atau Brasil. Komposisinya sekitar 90% kebutuhan kedele masih diimpor.
Saat ini, karena perubahan iklim, produksi di negara utama itu terkendala.
Indonesia bukan tak bisa ditanam kedele.
Faktanya, setiap tahun kita masih bisa memproduksi 240 ribu ton kedele. Memang masih jauh dari kebutuhan sekitar 2 juta ton saban tahun.
Tapi, tanah Indonesia potensial ditanam kedele. Wilayah tanamnya masih luas.
Potensinya masih cukup tinggi. Jika kemudian tanah negeri ini kurang begitu cocok, maka dengan teknologi sebenarnya masih mungkin ditanam.
Persoalannya, barangkali, karena kita kurang begitu peduli pada nasib petani. Kita hanya bangga sebagai negara agraris, tapi kurang bersahabat terhadap mereka yang bergerak di sektor pertanian itu.
Petani kedele bukan satu-satunya yang terabaikan. Nyaris di semua jenis pertanian, kebijakan-kebijakan yang muncul kerap bertolak belakang. Mulai dari kebijakan impor yang awut-awutan, bahkan dituding memiliki kepentingan, hingga penataan dan penyaluran pupuk bersubsidi yang jarang sekali berlangsung mulus.
Jika kondisi-kondisi seperti ini terus terjadi, siapa lagikah yang berminat menjadi petani? Orang akan meninggalkan ladang, kebun, sawah, dan beralih ke kota. Wilayah-wilayah pertanian bisa menjadi ruang hampa.
Itulah sebabnya, tugas pemerintah dalam memajukan sektor pertanian demikian pentingnya. Cita-cita menjadi negara swasembada pangan mungkin hanya akan jadi mimpi di siang bolong jika kebijakan-kebijakan masih ompong.
Ini harus diperbaiki. Malu juga kita kepada generasi sebelum ini, saat negeri ini mampu berswasembada pada masa lalu, di saat Orde Baru.