Adu Penalti di JIS
HIDUP itu seperti adu penalti. Kadang berhasil, kadang gagal. Ada keberhasilan dan kegagalan tatkala Ridwan Kamil dan Anies Baswedan terlibat adu penalti di Stadion Jakarta International Stadium (JIS) belum lama ini.
Orang bilang, adu penalti itu ibarat lotere. Tidak sepenuhnya benar. Dalam adu penalti, ada teknik, ada strategi, ada kemampuan, selain keberuntungan.
Adu penalti adalah juga drama paling sportif di lapangan hijau. Tak ada tekel, tak ada handsball, apalagi perkelahian. Pelanggarannya pun diminimalisir sekecil mungkin. Misalnya, tak boleh ada pemain lain di kotak penalti.
Kiper tak boleh bergerak melampaui garis gawang sebelum eksekusi dilakukan. Nilai sportivitas yang sangat penting adalah persahabatan. Itu pulalah yang tergambar di JIS, stadion yang bahkan belum diresmikan itu.
Adu penalti Anies dan Emil adalah lambang persahabatan itu. Ibarat bermain bola, keduanya adalah penyerang yang tengah jadi perhatian publik.
Keduanya ramai disebut-sebut sebagai calon pemimpin pada 2024 mendatang. Tapi, di lapangan, juga dalam kehidupan sehari-hari, keduanya sama sekali tak menunjukkannya.
Setidaknya sudah dua kali Emil menyampaikan ucapan selamat kepada Anies Baswedan dan masyarakat Jakarta atas berdirinya JIS, stadion megah di utara ibu kota itu. Itu menunjukkan keduanya saling mengapresiasi, saling menghargai.
Anies? Dia tak kalah seringnya mengapresiasi Emil, sebagai gubernur, sebagai pribadi. Saat Jabar mendapatkan WTP untuk ke-10 kalinya, dia berujar: “Selamat Kang!”.
Kala Emil tepat berusia 50 tahun, dia pun mengucapkan salam selamat. Begitulah seharusnya pemimpin. Bahkan kalau pun harus bersaing, dia tak perlu saling memburukkan. Sebab, sikap semacam itu hanya akan menambah tebal pesimistis di kalangan masyarakat. Sangat tidak elok.
Apa yang terjadi saat ini, bisa jadi, kalah tajam di antara persaingan para pemimpin masa lalu. Saat Soekarno, Agus Salim, Sjahrir, Hatta, hingga Tan Malaka saling bersaing dalam dialektika. Saling kritik terjadi, tapi persahabatan dan kekerabatan tak pernah hilang.
Bangsa ini merindukan pemimpin-pemimpin yang seperti itu. Biarkan berlawanan dalam diskursus, tapi tidak saling mencederai sesama anak bangsa. Apalagi sampai menggunakan pendengung untuk saling menjatuhkan. Anies dan Emil sudah memberikan contoh.
Bersaing dalam kebaikan, bukan dalam (apalagi demi) kekuasaan. Bekerja sama demi rakyat. Sekali-kali, bersaing dalam persahabatan, di lapangan hijau. Sungguh adem. Siapa tahu, sekali waktu, keduanya juga bertanding di lapangan lain, lapangan bulu tangkis, misalnya.