Titik Nadir DPR
AKHIR tahun lalu, Muhaimin Iskandar melontarkan keheranannya. Kepercayaan publik terhadap DPR rendah. “Lembaga surveinya yang keliru atau DPR-nya yang keliru?” tanyanya.
Kita meyakini, DPR-nya yang keliru. Sebab, tidak hanya satu-dua lembaga survei yang mengungkap kepercayaan publik terhadap lembaga perwakilan itu rendah. Bahkan sangat rendah. Paling rendah dibanding lembaga lain.
Sejalan dengan itu, kepercayaan publik terhadap partai politik pun mencapai titik nadir. Hanya 48% responden yang percaya partai politik berkinerja baik. Hanya 2% lebih rendah dari DPR.
Lalu apa? Lalu, bagaimana kita percaya DPR dan partai politik akan berperan besar dalam menentukan langkah negara ke depan? Rendahnya tingkat kepercayaan terhadap DPR dan parpol teresonansi dalam pikiran, sikap, dan tindak mereka selama ini.
Pengesahan undang-undang yang kontroversial dan banyak ditentang rakyat adalah contohnya.
Pikiran, sikap, dan tindak-tanduk itu dilihat publik sebagai akal bulus, ugal-ugalan, dan pada ujungnya merugikan rakyat. Pengesahan undang-undang secara kilat, bahkan saat rakyat sedang tidur nyenyak, adalah contohnya.
Lalu kini, sebagian besar di antara mereka melakukan orkestrasi busuk pula: hendak menunda Pemilu dan Pilpres 2024. Tentu saja, rakyat dipakai sebagai alat untuk meloloskan akal bulus mereka. Memakai petani, pelaku UMKM, untuk menunda Pemilu. Sesuatu yang tak sesuai dengan UUD 1945.
Tentu saja, mereka berkilah, UUD 1945 bukanlah kitab suci yang tak boleh direvisi. Kita sepakat. Tapi, kita tidak sepakat jika UUD 1945 diamandemen hanya untuk meloloskan niat buruk mereka. Betapapun UUD 1945 bukan kitab suci, dia tak boleh dinodai.
Alih-alih melakukan amandemen terhadap pasal Pemilu, kita menyarankan amandemen sepatutnya dilakukan terhadap regulasi menyangkut keanggotaan MPR. Jika memungkinkan, kita menginginkan peran politik rakyat di lembaga tersebut diperkuat.
Salah satunya dengan memperkuat peran dan keanggotaan DPD di dalamnya. Sebab, DPD yang sejatinya mewakili rakyat, bukan DPR. DPR, dalam praktik sehari-hari yang kita lihat, adalah penyalur kepentingan partai politik, bukan rakyat.
Kita khawatir, dengan begitu dominannya kekuatan anggota DPR di MPR, maka aksi-aksi politik persekongkolan, akan dengan mudah mereka lakukan. Termasuk misalnya peluang amendemen terhadap pasal UUD 1945 tentang pembatasan masa jabatan presiden hingga perpanjangan masa jabatan.
Di negeri kita saat ini, banyak organ yang hanya memikirkan politik kepentingan sesaat pihak-pihak tertentu. Bukan masyarakat secara umum. Praktikpraktik persekongkolan itu akan mudah dilakukan mereka yang tak lagi punya nurani, sebagaimana banyak wakil rakyat dan partai politik yang makin tak dipercayai rakyat itu.