Tampilkan di aplikasi

Buku Kanaka hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Mawar Sang Nabi

20 Cerpen Inspiratif, yang mengajak anda melihat dunia dengan lebih jernih

1 Pembaca
Rp 95.000 16%
Rp 80.000
Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

“Mawar Sang Nabi itu bohong, tidak rasional,” kata seorang anak muda padaku, “tolong tunjukkan satu dalil yang membenarkan bahwa keringat nabi jatuh ke desa kita dan menjadi bunga mawar?”
“Itu hanya budaya dari tradisi nenek moyang kita,” sahutku pelan, “semua itu bukan agama.”
“Tetapi kepercayaan warga desa terhadap Mawar Sang Nabi, itu omong kosong yang lahir dari kebodohan saja,” katanya tegasnya. Aku tidak bisa menahan marah. Kutarik kerah bajunya. Anak yang saat aku meninggalkan desa masih balita sekarang berani menyebut budaya desanya yang dijalankan nenek moyangnya sebagai selama ratusan tahun sebagai kebodohan.
“Jaga lisanmu, Nak!” kataku bergetar menahan marah, “engkau boleh tidak setuju dengan budaya desa tetapi jangan menyebut budaya desa sebagai sebuah kebodohan.”
Desa kami yang dulunya selalu bersatu, sekarang mulai terpecah menjadi dua kelompok. Pertama warga desa yang rata-rata sudah sepuh, setidak-tidaknya sebaya aku, menghormati tradisi Mawar Sang Nabi. Kedua, anak-anak muda yang mayoritas mereka adalah sarjana, menolak tradisi Mawar Sang Nabi, tidak hanya menolak tetapi mereka mengolok-olok dan menyerang kepercayaan warga.

Kedua kelompok kehilangan akal sehatnya, mereka berusaha saling menyerang bahkan saling membunuh. Tiba-tiba suasana menjadi hening, ketika terdengar suara serak dan bergetar dari pengeras masjid, “tholaal badru alaina, min tsaniyatil wada’, wa jaba syukru alaina, ma da’a llihi da’,” suara itu berhenti, lalu terdengar tangis. Suara itu mencoba meneruskan bait syair itu, tidak kuasa terdengar hanya tangis.
“Mbah Dasir,” terdengar orang-orang bergumam.
Aku rebahkan tubuhku ke tanah, air mata pun tumpah. Tidak tahu cerita apa yang akan kusampaikan pada anak-anak jika mereka tanya tentang peristiwa berdarah ini.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Agus Ainur Roziqin

Penerbit: Kanaka
QRSBN: 623696952010
Terbit: Agustus 2022 , 212 Halaman










Ikhtisar

“Mawar Sang Nabi itu bohong, tidak rasional,” kata seorang anak muda padaku, “tolong tunjukkan satu dalil yang membenarkan bahwa keringat nabi jatuh ke desa kita dan menjadi bunga mawar?”
“Itu hanya budaya dari tradisi nenek moyang kita,” sahutku pelan, “semua itu bukan agama.”
“Tetapi kepercayaan warga desa terhadap Mawar Sang Nabi, itu omong kosong yang lahir dari kebodohan saja,” katanya tegasnya. Aku tidak bisa menahan marah. Kutarik kerah bajunya. Anak yang saat aku meninggalkan desa masih balita sekarang berani menyebut budaya desanya yang dijalankan nenek moyangnya sebagai selama ratusan tahun sebagai kebodohan.
“Jaga lisanmu, Nak!” kataku bergetar menahan marah, “engkau boleh tidak setuju dengan budaya desa tetapi jangan menyebut budaya desa sebagai sebuah kebodohan.”
Desa kami yang dulunya selalu bersatu, sekarang mulai terpecah menjadi dua kelompok. Pertama warga desa yang rata-rata sudah sepuh, setidak-tidaknya sebaya aku, menghormati tradisi Mawar Sang Nabi. Kedua, anak-anak muda yang mayoritas mereka adalah sarjana, menolak tradisi Mawar Sang Nabi, tidak hanya menolak tetapi mereka mengolok-olok dan menyerang kepercayaan warga.

Kedua kelompok kehilangan akal sehatnya, mereka berusaha saling menyerang bahkan saling membunuh. Tiba-tiba suasana menjadi hening, ketika terdengar suara serak dan bergetar dari pengeras masjid, “tholaal badru alaina, min tsaniyatil wada’, wa jaba syukru alaina, ma da’a llihi da’,” suara itu berhenti, lalu terdengar tangis. Suara itu mencoba meneruskan bait syair itu, tidak kuasa terdengar hanya tangis.
“Mbah Dasir,” terdengar orang-orang bergumam.
Aku rebahkan tubuhku ke tanah, air mata pun tumpah. Tidak tahu cerita apa yang akan kusampaikan pada anak-anak jika mereka tanya tentang peristiwa berdarah ini.

Ulasan Editorial

Kumpulan cerpen “Mawar Sang Nabi” sebagai persembahan buat pecinta sastra, terutama cerpen. Salah satu novelnya terbarunya “Saat Bunga Desember Mulai Mekar” (Telaga Ilmu)

Pendahuluan / Prolog

Sebuah Pengantar
Cerpen adalah sebuah teropong kecil cerita yang ingin melihat sebuah dunia yang sangat luas. Dalam luasnya dunia itu, penulis membuat sebuah dunia kecil, dilahirkan dan dikembangkan oleh sang penulis untuk menyampaikan berbagai gagasan dan pemikiran.

Seperti itu pula kumpulan cerpen ini, ia dilahirkan dan ditumbuhkan untuk menyampaikan berbagai hasil teropong penulis terhadap dunia yang sangat luas. Mulai dari cerita berbau mistik seperti Wali, Khidlir atau cerita absurd dan abstrak pada cerpen Aku, Kosong, dan berbagai ragam lainnya.

Namun selanjutnya pembacalah yang berhak menentukannya. Yang pasti impian penulis, kumpulan cerpen ini semoga bisa menginspirasi.


Daftar Isi

Cover
Daftar Isi
Sebuah Pengantar
Aku
Centak Terakhir
Dul Kadiran
Buwoh
Sepotong Fragmen di Warung Tuak
Mawar Sang Nabi
Kehormatan dalam Sebilah Arit
Melati dari Jibril
Khidir
Membeli Ndaru
Pelangi  di Langit Silowo
Seorang Wanita  Bernama Dira
Siti Toak
Kosong
Sri yang Bermimpi  Jadi Wantikah
Tambul
Di Desa Ini  Dilarang Bermimpi
Sepotong Cinta  dalam Gerimis
Wali
Sepotong Senja  Pak Danur
Biodata Penulis

Kutipan

Mawar Sang Nabi
Sinar matahari senja menerabas hutan-hutan kecil yang tumbuh subur di perbatasan desa. Bayangan bukit memanjang dalam sinar matahari sore, bayangan bukit itu seolah-olah melindungi padi-padi di sawah dari pandangan sedih matahari yang tidak mau berpisah dangan indahnya bumi. Sebentar lagi angin malam akan turun dari bukit, lalu menyapa pematang sawah yang diam dan beku. Padi-padi yang siap panen menunduk dengan rasa syukur karena tiap butirnya akan menjadi rejeki bagi para petani. Suara kepak burung pulang ke sarang. Langit mulai memerah, matahari rebah dan sembunyi di bagian lain bumi.

Langit senja bergeser ke malam, dihiasi burung burung yang kembali dari pengembaraan mencari nafkah. Suara azan akan menusuk-nusuk langit, suara itu mempercepat senja menjadi malam. Suara dari pria sepuh yang bergetar saat mengalunkan azan, sebuah azan dari generasi masa lalu yang khas, seperti azan dalam langgam Jawa. Suara Mbah Dasir sudah 60 tahun mendampingi setiap langkah warga desa. Enam puluh tahun sudah, azan maghribnya melepas senja dan menyambut malam. Orang-orang bergegas menuju masjid, beberapa gembala yang terlambat pulang dari ladang terlihat memukulkan cemetinya agar kerbau-kerbau itu melangkah lebih cepat.

Aku berdiri di depan rumah kenangan, di rumah ini aku dilahirkan. Empat puluh tahun yang lalu, aku lahir di rumah ini. Sebuah rumah joglo yang sekarang menjadi bangunan antik. Kayu kayu jati sisa-sisa sejarah masa lalu masih melekat, kayu kayu jati yang sudah bergalih, menghitam, kuat dan kokoh mewakili sebuah masa yang tidak akan kembali lagi. Setelah dewasa aku meninggalkan desa ini. Hanya pulang sewaktu idul fitri saja, itupun hanya beberapa hari, kadang bahkan hanya dua hari. Setelah kembali ke tempat kerja, tenggelam dalam kesibukan yang rasanya tidak akan ada ujungnya.

Sebagai anak yang lahir di desa, aku selalu merindukan desa tempat aku dilahirkan, tempat yang pertama aku lihat pertama kali saat pertama kali aku bisa membuka mata. Harum sawah yang baru diolah atau benih padi yang baru disema. Dan yang paling aku rindukan Mawar Sang Nabi. Bunga mawar yang hanya tumbuh di hutan desa, memancarkan bau harum yang lembut.

Tidak ada yang tahu pasti, kapan bunga mawar itu tumbuh di hutan. Di antara rimbunnya hutan tumbuh sejenis bunga mawar yang sangat harum, berwarna merah lembut. Orang-orang desa menyebutnya sebagai Mawar Sang Nabi. Menurut cerita yang beredar secara turun temurun dari generasi ke generasi. Dulu ketika Nabi Muhammad sedang bermikroj dengan naik Buroq, beliau SAW merasakan udara agak panas sehingga tubuh mulianya berkeringat. Angin membelai tubuh beliau, beberapa butir keringat jatuh ke bumi. Saat keringat itu jatuh ke bumi menjadi benih mawar yang harum, mawar itu tumbuh alami di hutan sekitar desa.

Dalam setiap pernikahan akan terasa hambar jika tanpa ada hiasan Mawar Sang Nabi, saat melamar sang lelaki akan memberikan Mawar Sang Nabi sebagai tanda cinta kepada pujuan hati. Dan itu adalah persembahan paling agung dan indah. Bagaimana tidak agung dan mulia, memberikan bunga yang berasal dari keringat manusia yang paling agung dan paling mulia di sepanjang zaman. Bunga Mawar Sang Nabi tumbuh rindang di berbagai bukit dan hutan di sekitar desa, tidak ada satupun warga desa yang berani mematahkan rantingnya apalagi menebang pohonnya. Setelah sekian ratus tahun, bunga mawar menjulur membentuk jalinan yang indah. Orang-orang desa hanya berani mengambil bunganya saat akan menikah dan saat memperingati maulid nabi, selebihnya tidak ada yang berani. Orang-orang desa mencintai nabi, tidak berani berbuat tidak baik kepada bunga yang diyakini mempunyai hubungan dengan nabi yang mulia.

Entah dari mana datangnya, tiba-tiba muncul anak-anak muda dengan penuh semangat mengajak warga desa agar berpikir rasional, membuang jauh-jauh TBC (Takhayul Bid’ah dan Churafat). Semangat yang meluap-luap dan berderu-deru bagai ombak laut yang menggempur pantai di sepanjang waktu. Desaku bukan lagi desaku di waktu kecil, generasi telah berganti, anak-anak yang dulu bermain di luasnya alam, ini sudah banyak digantikan oleh anak-anak baru. Anak-anak yang pendidikannya jauh lebih baik, dulu anak sebayaku, bisa sekolah SMA di kota, sebagai sesuatu yang istimewa, tetapi sekarang sesuatu yang biasa karena sudah banyak anak-anak yang kuliah di berbagai kota besar di Indonesia.

Anak-anak yang terlihat cerdas dan agamis membangun komunitas sendiri yang seolah-olah terpisah dengan warga desa. Dulu tanah-tanah tegal yang kering dan kerontang saat penghujan, tempatku dan anak-anak desa mengembala hewan ternak, kini telah berumah menjadi perumahan-perumah minimalis yang indah. Sebuah masjid yang bersih berdiri tegak di dalam perumahan tersebut.

Hari itu, aku dan warga desa sedang memper-siapkan perayaan Maulid Nabi, yang dimulai dengan menggelar ritual mengambil Mawar Sang Nabi yang berada di dalam hutan desa. Aku melangkahkan kaki, berjalan bersama warga desa menuju hutan sambil mengalunkan sholawat nabi. Di tengah jalan aku berpapasan dengan seorang anak muda, berwajah bersih dan senyum lembut di bibirnya. Ia bertanya kepadaku, rombangan warga desa mau keman. Aku menjelaskan kami akan mengadakan Maulid Nabi yang diawali dengan memetik Mawar Sang Nabi.

“Mawar Sang Nabi itu bohong, tidak rasional,” kata seorang anak muda padaku, “tolong tunjukkan satu dalil yang membenarkan bahwa keringat nabi jatuh ke desa kita dan menjadi bunga mawar?” “Itu hanya budaya dari tradisi nenek moyang kita,” sahutku pelan, “semua itu bukan agama.”  “Tetapi kepercayaan warga desa terhadap Mawar Sang Nabi, itu omong kosong yang lahir dari kebodohan saja,” katanya tegasnya. Aku tidak bisa menahan marah. Kutarik kerah bajunya. Anak yang saat aku meninggalkan desa masih balita sekarang berani menyebut budaya desanya yang dijalankan nenek moyangnya sebagai selama ratusan sebagai kebodohan.