perangkap bernama kenyamanan. Beberapa hari lalu salah seorang sahabat saya bercerita tentang pacarnya. Dalam perbincangan serius yang terjadi di food court sebuah mal itu dia curhat, “Gue capek sama pacar gue.” Sudah dua tahun dia berpacaran dengan ceweknya. Dua tahun yang dipenuhi suka duka. Tapi tiap kami ketemu, dia lebih sering mengeluh tentang pacarnya.
“Kenapa enggak diputusin aja?” tanya saya sambil mengunyah ayam goreng. Nyaris menahan diri saya untuk tidak menguap menahan kantuk karena ini curhatannya yang entah ke berapa kali. “Iya mau gue putusin, sih,” dia menjawab dengan pandangan menerawang. Entahlah apa yang dia omongin akan jadi kenyataan atau enggak. Tapi dari ceritanya selama ini, sudah jelas bahwa dia terperangkap dalam sebuah kenyamanan yang membunuh. Dua tahun bersama seseorang yang sedikit banyak sudah tahu dirinya apa adanya. Dua tahun bersama pacarnya yang cemburuan banget. Tapi itu juga tanda bahwa teman saya punya seseorang yang memuja. Dan hal itu seringkali penting buat seorang manusia agar tidak merasa kesepian.
Rasa nyaman kadang membuat kita enggan mencoba hal baru. Tanpa disadari kita menciptakan perangkap tak kasat mata. Kita didera ketakutan akan hal di luar zona kenyamanan. Kita sebenarnya pengin putus dari pacar, tapi enggak mau jomblo. Kita pengin sekolah di luar kota karena universitas yang diinginkan lebih berkualitas, tapi takut tinggal terpisah dari orangtua. Kita malas ambil ekskul, karena berarti harus menyisihkan waktu, tenaga dan uang untuk hal baru.
Satu hal yang membuat saya menyesal ketika remaja adalah saya kurang mau mencoba hal baru yang berpotensi berguna di masa depan. Kenapa saya enggak les gitar? Kenapa saya enggak tertarik ikut klub pencinta alam? Kenapa saya takut kuliah di luar kota? Justru ketika semakin dewasa, saya malah makin tergoda menyerap ilmu di luar pekerjaan, traveling ke tempat baru dan sering mengiyakan ajakan-ajakan spontan
Coba sekarang tarik napas dalam-dalam. Lihat kenyamanan di sekitar kita. Benar-benar perhatikan kenyamanan tersebut, lalu tanya pada diri kita. Apakah itu sebuah kenyamanan yang membuat kita berkembang atau justru ‘perangkap yang membuat kita sesak napas?’