tergerus social media, T idak pernah ada kata habis ketika ngomongin media sosial. Seiring waktu akan selalu ada medsos baru dengan tampilan berbeda yang menyita perhatian. Dulu saya cuma punya Facebook. Lalu muncul Twitter. Kemudian Instagram masuk. Path datang. Snapchat lantas lahir dan didorong rasa penasaran, maka saya ikutan juga. Banyak teman saya yang enggak ikut Snapchat. Salah satunya ketika melihat saya menonton feed Snapchat, orangorang akan berkata, “Aduh aku enggak sanggup, deh, ikut banyak social media. Aku merasa waktuku jadi habis untuk menonton orangorang,” ujarnya.
Saya agak terpekur mendengar perkataannya. Kemudian saya mulai berpikir. Biasanya saya asyik mengecek social media sekitar satu sampai dua jam menjelang jam tidur. Waktu tersebut bila dikali dengan tiga puluh hari maka itu berarti saya sudah menghabiskan tiga puluh sampai enam puluh jam bergumul dengan social media. Itu berarti antara 1-2,5 hari terbuang demi media sosial. Ack! Bayangkan yang bisa kita lakukan dengan waktu sebanyak itu. Bayangkan karya yang seharusnya bisa dihasilkan. Bayangkan pengalaman yang seharusnya bisa kita alami. Kita bisa menulis cerpen, bermain basket, memasak, membaca buku, menggambar, membuat prakarya, traveling dan masih banyak lagi.
Seperti yang orang lain tahu, social media bisa kasih dampak positif maupun negatif. Tergantung pada cara kita memandang dan memanfaatkannya. Namun terlalu terfokus pada media sosial bisa membuat hidup kita menjadi ‘miskin’. Audrey, salah satu kru kaWanku, bilang, “Sekarang orang pergi ke suatu tempat karena pengin nge-post sesuatu. Bukan pergi ke suatu tempat karena pengin ke sana lalu enggak sengaja ada momen yang bisa di-post di social media.” Terus terang kalimat itu menampar saya. Seperti halnya kalimat dari buku Fight Club, “We buy things we don’t need with money we don’t have to impress people we don’t like. Penilaian orang di social media tentang kita bukan segalanya. Karena sesungguhnya kita yang harus memegang kendali atas social media, bukan kebalikannya.