Dongeng Yang Menipu, M omen itu. Ketika kita mengenakan kebaya atau gaun pesta tercantik di pesta perpisahan atau prom. Dengan rias wajah dan rambut yang melalui proses berjam-jam untuk menampilkan sisi terbaik kita. Di tengah temanteman yang asyik bercengkerama, dalam gemuruh detak jantung saat memandang gebetan. Dia yang sebentar lagi akan berpisah sekolah dari kita. Dia yang selama ini menghantui pikiran kita. Membuat lidah ini kelu setiap berhadapan dengannya. Dengan balutan jas sehingga dia terlihat lebih gagah dari biasanya, dia menghampiri kita. Inilah momennya. Saat dia menyatakan cintanya. Mengajak kita terbang ke suatu tempat penuh kebahagiaan. Jauh dari rasa sepi akibat kejombloan yang selama ini dirasakan. Momen itu. Momen dambaan setiap cewek
Momen yang sejak kecil sudah menjadi cita-cita karena berbagai dongeng putri dan pangeran yang selalu berakhir bahagia selamanya. Belum lagi ditambah film komedi romantis yang sering memperlihatkan adegan bombastis yang mempersatukan dua orang. Adegan-adegan yang berdampak perempuan cenderung punya mimpi diselamatkan oleh lelaki. “Enggak usah sekolah tinggi-tinggi, nanti juga nikah. Cari jodohnya yang lebih kaya, sehingga enggak usah repot,” kata teman saya bertahun-tahun lalu.
Benarkah semudah itu? Apakah kita harus menunggu diselamatkan seorang cowok? Tidak bisakah kita menyelamatkan diri sendiri? Membuat diri ini bahagia secara menyeluruh meski tanpa bantuan cowok? Dongeng dan film itu menyenangkan dinikmati. Tapi bisa menyesatkan. Tidak ada peri yang tiba-tiba muncul menyelamatkan kita. Kodok tetap menjadi kodok berapa kali pun kita menciumnya. Tidak ada jaminan akan ada pangeran yang mencium untuk membangunkan kita dari tidur. Atau menyelamatkan kita dari serangan naga. Pesta perpisahan bisa tetap menyenangkan meski tanpa di samping gebetan. Dalam dongeng hidup yang kita jalani, kita yang harus membuat happy ending yang diharapkan. Karena hanya ada dua pilihan. Kita yang harus menolong diri kita. Atau kita akan selamanya tak berdaya