Tampilkan di aplikasi

Buku Khazanah Intelektual hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Mengapa Menunda Nikah?

Dan 16 Pertanyaan Lain yang Harus Anda Jawab Sebelum Menikah

1 Pembaca
Rp 20.000
Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Sebuah rumah tangga yang dibangun di atas fondasi takwa akan menghadirkan nuansa kebaikan. Suami-istri akan saling mengingatkan untuk senantiasa meniti jalur ketaatan kepada Allah Swt. Bila salah satunya khilaf dan kurang maksimal dalam beribadah kepada-Nya, maka pasangannya akan mengingatkan dan memotivasinya agar terus meningkatkan kualitas ibadah. Inilah cinta yang hakiki. Cinta di atas pilar takwa. Cinta yang membuat seorang suami tidak tega jika istrinya kelak sengsara di akhirat. Cinta yang membuat seorang istri tidak rela jika suaminya kelak dijadikan bahan bakar api neraka. Sehingga, kekuatan takwalah yang kini bicara.

Demikian kira-kira inti dari buku yang ada di tangan pembaca ini. Memang, permasalahan rumah tangga tidak bisa digeneralisasi atau dimudahkan hanya seputar keimanan atau ketakwaan antara suami-istri. Namun demikian, takwa adalah kunci yang dapat membuka solusi atas berbagai permasalahan rumah tangga, semisal kesulitan ekonomi, ketidakcocokan pendapat dengan pasangan, perbedaan pola pikir pada cara pengasuhan anak, sampai pada hadirnya orang ketiga.

Selanjutnya, pembaca akan dihadapkan pada sejumlah pertanyaan yang mungkin lupa ditanya ketika akan menikah. Tentu saja, buku ini bukan hanya pantas dibaca oleh mereka yang akan menikah, tetapi juga mereka yang sudah menikah, demi mendapatkan jawaban atas permasalahan rumah tangga yang dihadapinya selama ini.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Aam Amiruddin, Dr. MSi / Ayat Priyatna Muhlis
Editor: Muslik

Penerbit: Khazanah Intelektual
ISBN: 9789793838526
Terbit: Maret 2013 , 112 Halaman










Ikhtisar

Sebuah rumah tangga yang dibangun di atas fondasi takwa akan menghadirkan nuansa kebaikan. Suami-istri akan saling mengingatkan untuk senantiasa meniti jalur ketaatan kepada Allah Swt. Bila salah satunya khilaf dan kurang maksimal dalam beribadah kepada-Nya, maka pasangannya akan mengingatkan dan memotivasinya agar terus meningkatkan kualitas ibadah. Inilah cinta yang hakiki. Cinta di atas pilar takwa. Cinta yang membuat seorang suami tidak tega jika istrinya kelak sengsara di akhirat. Cinta yang membuat seorang istri tidak rela jika suaminya kelak dijadikan bahan bakar api neraka. Sehingga, kekuatan takwalah yang kini bicara.

Demikian kira-kira inti dari buku yang ada di tangan pembaca ini. Memang, permasalahan rumah tangga tidak bisa digeneralisasi atau dimudahkan hanya seputar keimanan atau ketakwaan antara suami-istri. Namun demikian, takwa adalah kunci yang dapat membuka solusi atas berbagai permasalahan rumah tangga, semisal kesulitan ekonomi, ketidakcocokan pendapat dengan pasangan, perbedaan pola pikir pada cara pengasuhan anak, sampai pada hadirnya orang ketiga.

Selanjutnya, pembaca akan dihadapkan pada sejumlah pertanyaan yang mungkin lupa ditanya ketika akan menikah. Tentu saja, buku ini bukan hanya pantas dibaca oleh mereka yang akan menikah, tetapi juga mereka yang sudah menikah, demi mendapatkan jawaban atas permasalahan rumah tangga yang dihadapinya selama ini.

Ulasan Editorial

Buku ini menjelaskan mengenai pentingnya pemahaman agama dalam menghadapi problematika rumah tangga. Di dalamnya diuraikan sejumlah pertanyaan yang memang kadang terlewatkan oleh calon pengantin yang akan menikah. Mereka lupa bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut mesti dijawab, atau paling tidak diketahui gambaran jawabannya, sehingga kelak ketika permasalahan tersebut benar-benar terjadi, mereka siap atau paling tidak telah mempersiapkan diri

Khazanah Intelektual / Muslik

Pendahuluan / Prolog

Sebuah Perjanjian Mulia Bernama Nikah
Perkawinan adalah salah satu sunatullah yang umum berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan, sebagaimana firman-Nya, “Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat kebesaran Allah” (Q.S. Aż-Żāriyāt [51]: 49).

Sedangkan, pernikahan adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah sebagai jalan bagi manusia memenuhi kebutuhan biologis serta meneruskan keturunan sebagaimana firman-Nya, “Hai, manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu (Adam) dan Allah men-ciptakan pasangannya (Hawa) dari dirinya. Dari keduanya, Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak...” (Q.S. An-Nisā’ [4]: 1).

Ya, Allah Swt. tidak mau menjadikan manusia layaknya binatang yang hidup bebas mengikuti nalurinya dengan berhubungan badan secara anarki dan tidak memiliki aturan. Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah menetapkan aturan hukum hubungan antara laki-laki dan perempuan melalui ucapan ijab dan qabul sebagai lambang dari adanya rasa ridho-meridhoi serta dihadiri para saksi yang menyaksikan ijab dan qabul tersebut.

Pernikahan adalah “mitsaqon ghalidhan”, yaitu suatu perjanjian besar antara laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dengan berlandaskan takwa sehingga tercipta jalinan kasih sayang, kedamaian, dan ketenteraman dalam hubungan suami-istri. Allah Swt. berfirman, “Di antara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah Allah menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, serta Allah jadikan rasa kasih dan sayang di antaramu. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi kaum yang berpikir” (Q.S. Ar-Rūm [30]: 21).

Perlu ditegaskan di sini bahwa tujuan utama pernikahan adalah aktualisasi ketakwaan. Pernikahan adalah media bagi laki-laki dan perempuan yang berstatus sebagai suami-istri untuk berlomba-lomba melaksanakan yang diperintahkan-Nya dan menjauhi yang dilarang-Nya. Allah Swt. berfirman, “Hai, manusia! Sesungguhnya, Kami telah menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya, yang paling mulia di sisi Allah ialah orang paling bertakwa. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti” (Q.S. Al-Ĥujurāt [49]: 13).

Pernikahan adalah solusi untuk menghindari terjadinya perbuatan-perbuatan yang melanggar aturan Allah (seks bebas). Fakta membuktikan bahwa seks bebas yang diharamkan oleh Allah Swt. itu berdampak negatif. Tentunya, rasa damai dan tenteram dalam berhubungan seks, jauh dari rasa khawatir akan penyakit menular seksual tertentu, adalah dambaan setiap manusia. Dan, pernikahan adalah jalannya. Sebuah jalan yang diridhoi oleh Allah Swt. dan orang-orang yang menapakinya akan ditolong oleh Allah Swt. di hari kiamat. Sabda Rasulullah Saw., “Tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah Swt. adalah: “Perjuangan di jalan Allah, mukatib (budak yang membeli dirinya dari tuannya) yang mau melunasi pembayarannya, dan orang nikah karena mau menjauhkan dirinya dari yang haram” (H.R. Tirmidzi).

Bahkan, Rasulullah Saw. pernah menyatakan bahwa ada empat indikator orang yang akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat, sebagaimana sabdanya, “Ada empat perkara, siapa yang memilikinya berarti mendapat kebaikan (kebahagiaan) dunia dan akhirat: (yaitu) hati yang selalu bersyukur, lisan yang selalu berdzikir, dan sabar di waktu sakit, serta istri yang mau dinikahi bukan karena mau menjerumuskannya ke dalam kemaksiatan dan menginginkan hartanya” (H.R. Thabrani).

Dari beberapa keterangan tersebut, secara implisit, Rasulullah Saw. menyerukan kepada para sahabat untuk menjalankan sunahnya, yaitu pernikahan. Ketika ada sahabat yang secara intens dan kontinu mengisi hidupnya dengan berpuasa, shalat tahajud tiap malam, dan perbuatan baik lainnya, Rasulullah Saw. menyuruh sahabat tersebut untuk menikah. Karena, tidak semata-mata Allah memerintahkan nikah, kecuali ada maslahat (kebaikan) di dalamnya. Dan, tidak semata-mata Allah mengharamkan seks bebas, kecuali ada madharat (keburukan) di dalamnya.

Lalu, apa hikmah diperintahkannya nikah? Dalam salah satu ayat-Nya, Allah Swt. berfirman,

“Di antara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah Allah menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, serta Allah jadikan rasa kasih dan sayang di antaramu. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi kaum yang berpikir” (Q.S. Ar-Rūm [30]: 21).

Benarkah pernikahan dapat memberikan ketenangan? Ada baiknya kita menilik sebuah hadits yang menyebutkan, “Rasulullah Saw., pernah tertarik kepada seorang wanita, lalu beliau segera mendatangi istri beliau, Zainab, yang sedang menyamak kulit, guna melepaskan rasa rindunya. Sesudah itu, beliau pergi menemui para sahabatnya, lalu beliau bersabda, ‘Sesungguhnya wanita itu datang dan pergi bagaikan setan. Maka, bila kamu melihat wanita (karena ada rangsangan syahwat), datangilah istrimu, karena yang demikian itu dapat menenteramkan gejolak hatimu’” (H.R. Muslim). Itulah sosok Rasulullah Saw. sebagai manusia biasa yang mungkin saja tertarik kepada wanita lain. Dan jika hal ini terjadi, maka kita dianjurkan untuk mendatangi istri masing-masing. Inilah hikmah dianjurkannya pernikahan.

Jadi, kepada para lajang yang sudah memiliki kemampuan untuk menikah, mengapa kalian masih menunda nikah?

Penulis

Aam Amiruddin, Dr. MSi - Aam Amiruddin adalah intelektual muda yang senantiasa mengedepankan pendekatan dialog cerdas dalam menyampaikan gagasannya. Karenanya, banyak kalangan menaruh simpati dan mengaminkan opini-opininya. Dia tergolong produktif dalam melahirkan karya-karya intelektual dalam bentuk buku. Tentu saja, kekayaan intelektual tersebut hasil tempaan dunia akademik yang tidak bosan dikenyamnya.

Dia menamatkan studi di Ma’had Ta’lim Lughah al ‘Arabiyyah (sekolah milik Kedutaan Saudi Arabia), mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Saudi Arabia untuk menekuni Islamic Studies di International Islamic Educational Institute, menamatkan program Magister Sains di Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, serta menamatkan program Doktor Ilmu Komunikasi di Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Masyarakat luas mengenal suami dari Hj. Sasa Esa Agustiana, S.H. dan ayah dari Iqbal Rasyid Ridho, Tsania Shofia Afifa, dan Tsalitsa Syifa Afia ini sebagai narasumber di beberapa acara religi di Radio OZ 103,1 FM dan beberapa stasiun televisi swasta, seperti TVOne, RCTI, SCTV, TransTV, dll.
Ayat Priyatna Muhlis - Dia adalah putra kedelapan dari dua belas bersaudara, yang lahir dari pasangan Iri Nurdin (alm) dan Siti Asiah. Walaupun lahir di Bandung, namun masa kecilnya lebih banyak dihabiskan di Ciamis. Tepatnya di desa Sindangkasih.

Pada tahun 1999, dia hijrah ke Bandung untuk menimba ilmu di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Persatuan Islam pada jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), dan lulus pada tahun 2004.

Ayat menghabiskan masa remajanya dengan aktif di berbagai organisasi. Jabatan yang pernah diembannya antara lain Ketua Bidang (Ka.bid) Kaderisasi Pengurus Daerah (PD) Pelajar Islam Indonesia (PII) Kab. Tasikmalaya serta Wakil Sekretaris Pengurus Wilayah (PW) Pelajar Islam Indonesia (PII) Jawa Barat. dengan jabatan sebagai Wakil Sekretaris. Ayat juga aktif di Badan Koordinasi Mahasiswa (BKM) STAI dengan jabatan sebagai Presiden Mahasiswa.

Setelah ‘pensiun’ jadi mahasiswa, dia aktif di Learning Center (LC) Percikan Iman, Lembaga Studi Islam dan Sosial (LSIS) dan Muasir Quran Center (MQC) yang berpusat di kota Bandung. Dia juga aktif mrnulis di beberapa media lokal di Kota Bandung. Saat ini, dia menjadi penulis tetap di Majalah Percikan Iman (MaPI). Selain aktifitasnya di beberapa lembaga maupun organisasi, dia pun menjadi Pembimbing Umrah di PT. Percikan Iman Tours & Travel (Percik Tours).

Daftar Isi

Cover
Pengantar Penulis
Pengantar Editor
Daftar Isi
Polog: Sebuah Perjanjian Mulia Bernama Nikah
Pra-Pernikahan
     1. Agar Tidak Salah Pilih, Apa yang Harus Diteliti?
     2.
Pacaran atau Ta’aruf?
     3. Mencari Informasi Tentang Calon Pasangan, Sebaiknya dari Mana?
     4. Bolehkah Wanita Menolak Khitbah? Atau, Bolehkah Wanita Mengkhitbah?
     5. Menikah Karena Cinta, Bolehkah?
     6. Nikah Karena Cinta, Akankah Bahagia?
Hubungan Suami Istri
     7. Cinta Suami, Perlukah Pernyataan?
     8. Cinta Istri, Mampukah Memberi Kenyamanan?
     9. Sebenarnya, Kewajiban Suami itu Apa Saja?
     10. Lantas, Apa Pula Kewajiban Istri Itu?
Seni Membangun Rumah Tangga
     11. Memperkuat Pondasi Rumah Tangga, Apa Tipsnya?
     12.
Kalau Penghasilan Suami Pas-pasan, Apa yang Harus Dilakukan?
     13. Bagaimana Kalau Suami Istri Berbeda Pendapat?
     14. Cinta Mulai Rapuh, Apa yang Harus Ditempuh?
     15. Kalau Bencana Selingkuh Datang Menerpa, Kita Harus Bagaimana?
     Cemburu Buta, Perlukah?
Epilog: Pernikahan, Perjuangan Sepanjang Hayat
Tentang Penulis
Daftar Pustaka

Kutipan

Agar Tidak Salah Pilih, Apa yang Harus Diteliti?
Menikah merupakan sebuah keputusan besar yang bisa jadi menentukan nasib kebahagiaan seseorang, tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Itulah mengapa, keputusan menikah bisa sangat menyita pikiran dan pertimbangan, apalagi soal urusan menentukan siapa yang akan dijadikan pendamping hidup. ‘Harus yang seperti apa, ingin yang bagaimana’ menjadi pertanyaan-pertanyaan yang terus muncul di benak setiap orang yang ingin menikah, namun gamang dalam menentukan pilihan.

Islam sangat menganjurkan umatnya agar menentukan pilihan pendamping hidup secara selektif, dan jangan asal pilih. Dalam Islam, hendaknya, calon pasangan dipilih bukan karena kekayaan, ketampanan, atau ketenarannya. Justru, yang harus menjadi standar utama adalah agamanya. Itulah pesan yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. melalui sabdanya, “Dinikahi wanita atas dasar empat perkara: karena hartanya, karena kecantikannya, karena keturunannya, dan karena agamanya. Barangsiapa yang memilih agamanya, maka beruntunglah” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Dalam kesempatan lain, Rasulullah Saw. juga pernah memberikan nasihatnya kepada para sahabat, “Janganlah kamu menikahi wanita karena kecantikannya, sebab kecantikan itu akan lenyap dan janganlah kamu menikahi mereka karena hartanya, sebab harta itu akan membuat dia sombong. Akan tetapi, nikahilah mereka karena agamanya, sebab seorang budak wanita yang hitam dan beragama itu lebih utama” (H.R. Ibnu Majah).

Jauh sebelum Rasulullah Saw. menyampaikan pesan tersebut, Allah Swt. terlebih dulu memberikan peringatan kepada kita melalui firman-Nya, “Perempuan-perempuan keji untuk laki-laki keji, dan laki-laki keji untuk perempuan-perempuan yang keji pula. Perempuan-perempuan baik untuk laki-laki baik, dan laki-laki baik untuk perempuan-perempuan yang baik pula…” (Q.S. An-Nūr [24]: 26).

Ayat ini menjelaskan bahwa wanita-wanita yang shaleh diperuntukkan bagi laki-laki yang shaleh pula, sedangkan wanita-wanita yang tidak shaleh diperuntukkan bagi laki-laki yang tidak shaleh, dan begitupun sebaliknya. Maksudnya, jika kita menginginkan pasangan yang shaleh, maka tanamkan dalam diri kita untuk menjadi manusia yang shaleh. Akan lebih baik lagi bila tekad tersebut didukung dengan lingkungan yang shaleh, insya Allah kita akan mendapatkan pasangan yang shaleh pula.

Islam memberi jalan ta’aruf bagi mereka yang ingin menikah. Ta’aruf sendiri adalah media untuk mengenal calon pasangan sebelum memasuki gerbang rumah tangga. Ta’aruf perlu dilakukan oleh pasangan yang telah siap untuk menikah. Namun, perlu digarisbawahi di sini bahwa ta’aruf yang dimaksud bukanlah pacaran. Ta’aruf dilakukan oleh dua pihak untuk saling mengenal (dengan tujuan pernikahan), yang kelak menentukan bersedia atau tidaknya mereka untuk menuju gerbang pernikahan. Sementara, pacaran cenderung hanya dilandasi oleh rasa suka, sehingga kerap dibumbui pada hal-hal di luar ajaran Islam, seperti berdua-duaan, cemburu berlebihan, seks bebas, atau bahkan kekerasan.

Kita harus cerdas dan cermat dalam menentukan calon pasangan hidup agar kebahagiaan yang kita dapatkan saat berumah tangga dapat terbawa sampai ke akhirat kelak.

Mencari Informasi Tentang Calon Pasangan, Sebaiknya dari Mana?
Kekurangan dan kelebihan yang dimiliki oleh pasangan hidup merupakan media untuk saling memahami. Ketika seorang istri maupun suami kurang memahami kekurangan yang dimiliki pasangannya, maka yang ada bukanlah kedamaian atau kebahagiaan, tetapi percekcokan atau bahkan perpisahan. Untuk itulah, menjadi penting untuk mengetahui informasi mengenai karakter, sifat, atau kebiasaan calon istri atau suami, agar kelak ketika sudah memasuki kehidupan pernikahan, hal-hal tersebut sudah lebih dahulu diketahui sehingga bisa lebih mudah dipahami. Dan, bila diketahui ada yang dirasa kurang berkenan dalam diri si calon, hal ini bisa menjadi bahan pertimbangan untuk tetap memilihnya sebagai pasangan hidup atau tidak.

Agar informasi yang didapat dapat dipertanggungjawabkan, tentunya kita harus mencari dari sumber yang dapat dipercaya serta dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Cinta Suami, Perlukah Pernyataan?
Cinta adalah anugerah agung yang diberikan oleh Allah ke dalam hati setiap hamba-Nya. Sehingga, cinta perlu dibingkai dalam sebuah perjanjian agung yang dinamakan pernikahan. Ya, pernikahan merupakan tempat untuk mengekspresikan cinta. Cinta bukan hanya perilaku hati, tetapi juga merupakan ekspresi jiwa yang perlu ditampakkan. Karenanya, Rasulullah Saw. sering mengekspresikan rasa cinta kepada para istrinya.

Cinta Istri, Mampukah Memberi Kenyamanan?
Rasulullah Saw. pernah ditanya oleh para sahabat perihal istri yang ideal dan dijawab oleh beliau, “Istri ideal adalah, apabila suaminya menatap dirinya, dia mampu memberikan kenyamanan. Apabila diperintah, dia menaatinya. Dan dia mampu menjaga kehormatan dirinya dan harta suaminya” (H.R. Nasa’i). Sepertinya, ini adalah jawaban untuk setiap suami yang bercita-cita memiliki istri yang ideal. Dan, penulis yakin bahwa setiap istri pun pasti ingin selalu memberikan yang terbaik bagi suaminya.

Tatapan istri yang penuh dengan rasa cinta dan sayang akan memberikan kenyamanan tersendiri bagi sang suami. Untuk itu, para istri hendaknya membiasakan diri menatap suaminya agar selalu merasa nyaman dalam berbagai keadaan, baik saat berada di sampingnya, saat meninggalkannya untuk mencari nafkah, dan saat bermain bersama anak-anak.

Sebenarnya, Kewajiban Suami itu Apa Saja?
Suami merupakan pimpinan tertinggi dalam keluarga sebagai-mana ditegaskan dalam Al-Qur’an, “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian laki-laki atas perempuan dan karena laki-laki telah menafkahkan sebagian harta mereka...” (Q.S. An-Nisā’ [4]: 34).

Makna laki-laki sebagai pemimpin di sini bukan berarti menempatkan wanita lebih rendah derajatnya. Makna qawwamun (pemimpin) dalam ayat tersebut memiliki makna partner, teman, atau sahabat. Ketika istri sibuk dengan pekerjaan rumahnya, maka suami harus membantu menyelesaikan tugas rumah lainnya. Pun ketika usaha suami atau terkena PHK, maka istri sebisa mungkin membantu mencari nafkah. Ya, suami dan istri adalah partner yang harus saling melengkapi satu sama lain. Akan tetapi, meski sebagai partner, istri tetap harus taat kepada suaminya. Ketika suami memberikan perintah, maka istri harus menaatinya, selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan aturan Allah Swt.

Keluarga adalah wadah pendidikan terpenting dalam membangun peradaban manusia. Oleh karenanya, dibutuhkan sosok pemimpin visioner dan berkomitmen pada yang diyakini dan dipilihnya. Visioner di sini maksudnya adalah mampu memahami dan menghayati serta merealisasikan berbagai kewajiban yang dipikulnya sebagai seorang suami.

Memperkuat Pondasi Rumah Tangga, Apa Tipsnya?
Seharusnya, rumah tangga menjadi panggung yang menyenangkan untuk sebuah pentas cinta kasih yang diperankan oleh setiap penghuninya. Rumah sudah sepantasnya menjadi tempat kembali yang menyenangkan dan selalu dirindukan oleh setiap anggota keluarga setelah sehari penuh mereka menjalankan aktivitasnya masing-masing. Seorang suami selalu merindukan istrinya di rumah, begitupun sebaliknya. Dan, setiap anak selalu merindukan orangtuanya di rumah, demikian pula sebaliknya.

Betapa indahnya rumah tangga seperti itu. Sebuah rumah tangga yang senantiasa bertabur cinta dan kebaikan. Kebaikan inilah yang sejatinya menjadi pakaian harian keluarga tersebut. Dengan pakaian ini pula, rumah tangga akan tetap melaju menembus badai sebesar apa pun. Betapa indahnya kehidupan rumah tangga ketika ia hanya berwajah kebaikan. Betapa bahagianya keluarga ketika ia hanya berwajah kebahagiaan.

Tetapi, fakta kehidupan nyata acapkali menghadirkan hal yang sebaliknya. Bukan kebaikan yang datang, melainkan malapetaka. Suami menjadi bahan gunjingan istri, demikian pula sebaliknya. Anak tidak lagi merindukan orangtuanya dan orangtua pun tidak peduli akan masa depan anaknya. Naudzubillahi min dzalik!

Ya, rumah tangga yang dijalani tidak akan selamanya berjalan mulus. Suatu hari, pasti akan datang ‘badai’ yang akan mengguncang biduk sebuah rumah tangga. Dan, kita tidak mungkin mampu menghadapi ‘badai’ tersebut jika fondasi rumah tangga kita tidak kokoh. Seperti rumah, jika fondasinya keropos, ia tidak akan mampu bertahan ketika terjadi angin puting beliung. Namun, kalau fondasinya kokoh, ketika terjadi anging puting beliung, kemungkinan robohnya rumah tersebut sangatlah kecil. Kalaupun terjadi kerusakan, maka tidak akan terlalu parah.

Kalau Bencana Selingkuh Datang Menerpa, Kita Harus Bagaimana?
Di beberapa negara, Indonesia salah satunya, perselingkuhan dianggap hal yang biasa. Lebih aneh lagi, ada pasangan suami istri yang “melegalkan” perselingkuhan selama tidak mengganggu keharmonisan dan keutuhan keluarga alias saling rela. Karenanya, kata ‘selingkuh’ pun diberi kepanjangan “selingan indah keluarga utuh”. Masya Allah!

Dalam Islam, selingkuh jelas dilarang dan merupakan bagian dari perbuatan zina, sekalipun hal tersebut tidak sampai pada melakukan hubungan intim. Allah Swt. berfirman, “Jangan kamu dekati zina. Sungguh, zina itu perbuatan keji dan jalan yang buruk” (Q.S. Al-Isrā’ [17]: 32). Dengan tegas, ayat tersebut menyatakan bahwa Allah Swt. melarang segala perilaku yang dapat mendekatkan diri pada perzinaan, seperti selingkuh, “mojok”, pacaran, dan lain-lain.