Imam Al-Ghazali mengatakan, anak-anak adalah amanat bagi kedua orangtuanya. Jiwa anakanak ibaratnya masih kosong dari berbagai ukiran dan gambar dan siap menerima berbagai bentuk ukiran. Tetapi, tabiat anak-anak ini cenderung pada sesuatu yang ia sukai. Karenanya jiwa anak yang suci itu adalah permata yang sangat mahal Imam Ghazali melanjutkan, namun jika anak-anak dibiasakan dengan kebaikan, maka dia akan tumbuh dan berkembang dalam kebaikan.
Karenanya, biasakan anak-anak dalam kondisi yang terbaik berdasarkan ajaran Rasulullah. Dengan begitu, orangtuanya akan berbahagia di dunia dan akhirat. Sebaliknya, jika anak-anak dibiasakan pada pada kebiasaan yang jahat, dibawabawa kepada selera kebinatangan, ia akan sengsara dan hancur. Siapa yang dimaksud sengsara dan hancur? Yaitu orangtuanya karena dosa anak-anak ditanggung oleh siapa yang mengajarkan dan mendidik anakanak menjadi jahat.
Sebagaimana jasad (badan anak-anak) yang pada awalnya tidak diciptakan sempurna, begitu juga dengan jiwa anak-anak yang tidak diciptakan secara sempurna. Tetapi jiwa mereka sudah siap menerima kesempurnaan dari pola pengasuhan orangtuanya. Jadi perlahan-lahan, jiwa anak-anak pasti menuju pada kesempurnaan seiring dengan perkembangan dan pertumbuhannya.
Jika ingin menjadi ayah inspiratif yang menyempurnakan jiwa anak, ini kata kuncinya. Pertama, jiwa anak akan sempurna dengan tarbiyah (pendidikan). Kedua, penanaman akhlak. Ketiga, nutrisi ilmu. Inilah trilogi pendidikan anak versi Imam Al-Ghazali. Begitu cara Imam Ghazali melihat anak. Dia adalah permata yang masih murni, tiada unsur lain yang bercampur di dalamnya kecuali keaslian permata itu sendiri.
