Jiwa yang Merdeka. Merdeka merupakan kata dengan magnet power luar biasa. Kata tersebut telah menyihir manusia dari Sabang hingga Merauke untuk berjuang sampai titik darah penghabisan. Merdeka juga mendorong sosok Ir. Soekarno selaku proklamator membakar spirit seluruh anak bangsa.
“Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta, apalagi jika bantuanbantuan itu diembelembeli dengan syarat ini, syarat itu! Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, daripada makan bistik tapi budak.” Sontak seruan tersebut membakar gelora anak bangsa untuk hidup mandiri, merdeka, alias mampu berdiri di atas kaki sendiri (berdikari).
Lebih jauh, Bung Karno berkata, “Barangsiapa ingin mutiara, harus berani terjun di lautan yang dalam.” Demikianlah jiwa yang merdeka.
Akal, semangat, dan ruhnya hidup dan aktif bergerak atas dasar keyakinan, sehingga yang mustahil akan diupayakan dengan bekal iman dan perjuangan. Jiwa yang merdeka tidak akan patah semangat. Dirinya tidak mengenal takut untuk berjuang, apalagi memilih hidup terhina sebagai pecundang.
Sebaliknya, jiwa yang merdeka akan merangsek ke depan. Menjemput janji kenikmatan abadi dari sisi Allah Ta’ala. Hidupnya tetap tenang, sekalipun perjuangan masih panjang. Sebab, dia yakin, kemenangan yang belum terwujud adalah sarana untuk menempa diri dalam mujahadah tinggi dengan ikhtiar sekuat tenaga dan doa setulus hati.
Jiwa yang merdeka sangat peka terhadap sesama. Egoisme menjadi hal utama yang terus dibenamkan dalam hatinya, sehingga semangat dan kesungguhan dalam berkorban bebas memendar di dalam ragam laku dan tindakan.
Merdeka baginya, bukan sebatas kenikmatan pribadi. Tetapi kebahagiaan sesama, yang menjadikan seluruh rakyat Indonesia sejahtera secara lahir dan batin. Merdeka!*/ Imam Nawawi