Di antara bukti kesempurnaan Islam adalah mengatur bagaimana interaksi ideal antara orang tua dengan anak, terkhusus pihak ayah dalam mendidik anak. Nabi Ibrahim adalah sosok ayah yang mampu berdialog dengan putranya Ismail dengan sangat dekat. Bahkan, komunikasi di antara keduanya, bukan lagi sebatas pada hal teknis dan cita-cita. Tetapi sangat luar biasa, yakni ketaatan kepada Allah.
Demikian pula dengan Nabi Ya’kub dengan putranya Yusuf. Beliau sangat dekat, bahkan begitu dekatnya. Dialog di antara keduanya sudah menyangkut hal-hal mendasar tentang bagaimana mampu menjaga diri untuk tetap istiqomah di dalam menjalankan perintah Allah Ta’ala, kala dalam sulit maupun bahagia.
Sedangkan melalui Luqman Al-Hakim, Islam menunjukkan hal-hal mendasar yang harus diajarkan orang tua, terutama ayah, kepada putra-putrinya dengan statusnya sebagai hamba dan khalifah Allah. Bukan saja sebatas disiplin shalat, tetapi juga siap sabar dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Realitas sejarah di atas memberikan satu pemahaman bahwa idealnya orang tua, terutama ayah, harus dekat dengan buah hatinya. Logikanya sederhana, bagaimana anak akan bisa diajak dialog tanpa ada kedekatan secara emosi dengan orang tuanya? Dengan demikian, mendidik anak bukan sebatas pada kemana kita menyekolahkan anak dan apa yang kita berikan kepada mereka dalam bentuk materi.
Tetapi adalah kedekatan batin dengan orang tua agar mulai sekarang mereka sadar bahwa dalam hidup ini urusan yang paling utama dan pertama adalah iman dan takwa kepada-Nya. Tentu saja semua itu bermula dari tradisi dialog yang ideal antara orang tua dengan sang buah hati.*/Imam Nawawi