Adien seorang wanita cerdas nan cantik. Kecerdasaannya membawanya masuk ke jurusan kedokteran hewan di sebuah perguruan tinggi negeri di Surabaya. Setelah beberapa tahun menempuh studi, ia pun lulus dengan baik. Tapi anehnya, setelah menyandang gelar dokter ia memilih menjadi ibu rumah tangga, terutama sesudah dikaruniai momongan. Ia tak mau meniti karir di luar rumah seperti wanitawanita berpendidikan umumnya. Tentu ini sebuah pilihan yang sulit dipahami. Jika pada akhirnya memilih di rumah, untuk apa sekolah tinggi-tinggi.
Menghabis-habiskan dana dan waktu saja. Rupanya ia punya pertimbangan sendiri. Ia tak mau kehilangan momen-momen penting tumbuh kembang buah hatinya. Masa-masa awal anak adalah pondasi untuk perkembangan dan pertumbuhan selanjutnya. Ibarat membangun rumah, jika pondasinya kuat tentu tak akan mudah goyah. Sebaliknya, sebagus apapun bangunan itu bila pondasinya rapuh, sedikit saja mendapat goyangan bakal roboh.
Wanita seperti Adien sekarang ini tak banyak. Wanita sekarang ramai-ramai keluar rumah mengejar karir. Memang, di luar lebih gemerlap dan karena itu lebih menarik, ketimbang berkutat di rumah. Dalam keadaan seperti itu, anak lantas diserahkan kepada orang lain. Bisa pembantu atau orangorang terdekatnya, misalnya kakek neneknya. Pilihannya adalah menyerahkan kepada lembaga pendidikan. Tentu saja pilihan itu boleh-boleh saja, asal tetap proposional. Maksudnya, mesti dicamkan betul bahwa pendidikan anak tetap menjadi tanggung jawab orangtua.
Sekolah hanya membantu. Fakta yang terjadi di masyarakat, orangtua menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pendidikan anak kepada sekolah. Padahal pendidikan anak lebih utama di dalam keluarga. Alasannya, disamping waktu anak lebih banyak di rumah, kasih sayang orangtua lebih tulus. Bukan berarti guru-guru di sekolah tidak tulus, tetapi secara naluri pastilah kasih sayang orangtua lebih besar. Persoalannya, apakah orangtua masih punya cukup waktu untuk mencurahkan kasih sayang itu. Sebab, pulang ke rumah mereka sudah lelah setelah seharian bekerja.