Tampilkan di aplikasi

Kebahagiaan dalam kekurangan

Majalah Mulia - Edisi 11/2017
7 November 2017

Majalah Mulia - Edisi 11/2017

Yang lazim, kemiskinan seringkali dimaknai sebagai kehinaan.

Mulia
Seseorang mengadukan keadaan dirinya yang sangat miskin kepada seorang yang bijak. Dia benar-benar menampakkan kegundahan hatinya atas keadaannya itu. Kemudian orang bijak bertanya, “Sukakah jika engkau menjadi buta dan engkau mendapatkan sepuluh dirham?” “Tentu saja tidak suka,” jawab orang miskin. “Sukakah jika engkau menjadi bisu dan engkau mendapatkan sepuluh dirham?” “Tentu saja tidak suka,” jawab orang miskin.

“Apakah engkau tidak merasa malu mengadu kepada Pelindungmu (Allah), padahal engkau mempunyai barang yang nilainya sama dengan lima puluh ribu dirham?” tanya orang bijak. (Ibnu Qudamah, Mukhtashar Minhajul Qasyidin, h. 362). Diliputi lautan nikmat. Sesungguhnya nikmat yang telah dicurahkan Allah SWT kepada hamba-Nya begitu berlimpah.

Tak seorang pun dan tiada mesin secanggih apapun yang mampu menghitung secara pasti banyaknya karunia Allah SWT yang telah dicurahkan kepada manusia. Sungguh nikmat Allah SWT tak terhingga. Dalam kondisi apapun, baik kaya maupun miskin, sesungguhnya manusia berada dalam lautan nikmat-Nya. “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu sangat dzalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (Ibrahim [14]: 34).

Manusia seringkali tidak sadar jika dirinya berada dalam lautan nikmat-Nya. Ketidaksadaran itulah yang seringkali melahirkan sikap mengeluh seolah-olah tiada nikmat yang dirasakan. Seolah-olah ada ketidakadilan dalam pembagian nikmat dalam kehidupan ini. Akibat dari sikap itu, maka tidak ada yang dirasakan dalam hidup ini, melainkan kemeranaan, kesedihan, dan keputusasaan.
Majalah Mulia di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.
Baca selengkapnya di edisi ini

Edisi lainnya    Baca Gratis
DARI EDISI INI