Bagi sebagian besar ayah, terutama yang rajin shalat berjamaah, tidak akan asing dengan lafadz Al-Qur’an yang artinya, “Wahai jiwa yang tenang” (QS. Al-Fajr: 27). Buya Hamka dalam tafsirnya Al-Azhar menjelaskan bahwa jiwa yang tenang (nafsul muthmainnah) adalah jiwa yang telah mencapai tenang dan damai.
“Jiwa yang telah digembleng oleh pengalaman dan penderitaan. Jiwa yang telah melalui berbagai jalan berliku, sehingga tidak mengeluh lagi ketika mendaki, karena di balik pendakian pasti ada penurunan. Dan tidak bergembira melonjak lagi ketika menurun, karena sudah tahu pasti bahwa di balik penurunan akan bertemu lagi pendakian. Itulah jiwa yang telah mencapai iman!” (Tafsir Al- Azhar: 207).
Dengan demikian ada hal mendasar yang setiap ayah mesti prioritaskan di dalam kehidupannya, agar tidak semata-mata dirinya mampu menjadi pemimpin yang baik dalam rumah tangga, tetapi juga mampu menjadikan keluarganya sebagai keluarga yang tenang (mantap keimanannya).
Jika mengacu pada apa yang Luqman Hakim nasehatkan kepada putranya, maka yang pertama memastikan ketiadaan syirik di dalam diri dan rumah tangga. Operasionalnya seperti apa? Tentu saja setiap ayah mesti menghadirkan iman di dalam hati dirinya dan hati istri serta anakanaknya ketika melihat, merasakan, atau pun menginginkan apapun.
Pemimpin yang memperhatikan kemurnian iman diri dan keluarganya, tentu akan Allah berikan cahaya-cahaya terang yang membuatnya lebih mudah melangkah menuju ridha-Nya. Langkah demikian menjadi prioritas Nabi Ibrahim yang dilanjutkan oleh seluruh generasi penerusnya, hingga masa Nabi Ya’kub, bahkan saat-saat ajal menjelang, dengan menomorsatukan iman (tauhid) terus dipelihara.
Semua anaknya dikumpulkan, kemudian dipastikan sebuah jawaban dengan pertanyaan, “Apa yang akan kalian sembah sepeninggalku, wahai anak-anakku?” Iman memang dasar dari segala sikap positif, pangkal dari setiap ujung kebaikan, awal dari setiap akhir yang baik, serta akar dari setiap buah yang manis dan menyehatkan.
Itulah keluarga para nabi dan rasul, keluarga muthmainnah, keluarga yang di dalamnya iman dinomorsatukan, sehingga lika-liku hidup tak lebih sekadar jembatan untuk mendapatkan ridha-Nya semata. Wallahu a’lam.