Pada dasarnya setiap manusia mengerti bahwa melakukan kebaikan apalagi menebar kebaikan adalah kebenaran dan kemuliaan. Akan tetapi, kerapkali api kesadaran itu redup karena besarnya ego di dalam diri yang diperturutkan.
Padahal, kalau kita menghayati, karena siapa dan untuk siapa kita mesti berbuat baik, maka sungguh kebaikan itu akan terus menyalanyala dalam dada. Menarik yang dipaparkan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitab Miftah Daris Sa’adah bahwa Allah benar-benar senantiasa menebar kebaikan kepada siapapun, termasuk manusia yang ingkar dan menentang- Nya.
“Di antara kebaikan dan kebajikan Allah yang paling besar kepada manusia ialah, Dia tetap berbuat baik kepada orang yang bersikap buruk pada- Nya, memaafkan orang yang bersikap zhalim, mengampuni orang yang berbuat dosa, menerima taubat orang yang bertaubat, dan memaafkan orag-orang yang meminta maaf dan ampunan kepada-Nya.”
Hal tersebut seharusnya menjadi perhatian seluruh kaum Muslimin, mengapa Allah berbuat demikian kepada manusia. Bukankah jika Allah “melakukan” itu semua, berarti Dia menghendaki umat Islam mengikutinya? Apa yang menjadikan sebab hati kita begitu beku, keras, bahkan membatu dalam menyikapi kesalahan sesama yang boleh jadi sepele.
Sampai berani memutus tali silaturrahim? Apa iya, sikap kita telah baik dan benar saat menjadikan kebencian sebagai benteng paling harus dijaga karena merasa tidak dihargai oleh orang lain, sehingga mengkristal menjadi dendam.
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nur [24]: 22).
