Siang itu hati Umayyah bin Khalaf benar-benar mendidih. Cuaca kota Makkah yang gerah, terasa makin bertambah dengan ulah budaknya, Bilal bin Rabah . Siapa sangka manusia berkulit hitam legam itu tiba-tiba berani membangkangi telunjuk sang majikan.
Tentu saja hal itu aib besar dan memalukan bagi Umayyah, pembesar sekaligus bangsawan kota Makkah. Umayyah yang kadung kalap segera menyeret kasar Bilal ke tengah padang pasir. Di sana Bilal lalu dicambuk tanpa ampun hingga ditindih batu besar di bawah terik matahari.
Jangan ditanya bagaimana derita akibat siksa tidak berperikemanusiaan tersebut. Nyaris saja Bilal tak sanggup menanggung penyiksaan itu sambil terus berbisik lirih ahad.. ahad.. ahad. Ajaibnya, belum habis keheranan Umayyah dengan sikap tegar budaknya, ia juga dikagetkan dengan ulah Abu Bakar as-Shiddiq .
Sahabat karib Nabi Muhammad tersebut tibatiba datang menemuinya di padang pasir, sekadar ingin memerdekakan budak yang disiksanya. Bikin heran lagi, Abu Bakar sama sekali tak butuh menawar harga untuk kesepakatan dadakan tersebut. “Kalau engkau menawar sampai satu uqiyah-pun, aku tak ragu menjualnya langsung,” ucap Umayyah, masih dengan nada heran.
Baginya, Bilal saat itu adalah manusia yang tak berguna lagi dalam kehidupannya. Generasi al-Qur’an Inilah potret manusia yang imannya mencerdaskan. Yakni orang-orang yang seketika berubah secara total dengan celupan (sibghah) al-Qur’an. Saat jiwa dan nalarnya tersentuh cahaya al-Qur’an. Maka sontak iman niscaya mengalami perubahan.
Menariknya, selain terjadi perubahan mendasar, iman yang mencerdaskan juga bersifat menyeluruh dan komprehensif. Itu terlihat dari pola pandang (mindset), pola sikap (attitude), hingga kebiasaan (behavior) atau akhlak sehari-hari. Bahkan lebih dari itu, mereka juga mengalami gairah dan daya juang yang dahsyat dalam menegakkan keimanannya.
