Setiap hari, begitu keluar rumah menuju kantor, Dian dan suami mengandalkan e-money untuk bayar tol dan parkir mobil. Dia juga pakai aplikasi Gopay untuk pesan makan siang, isi pulsa, atau mengirim dokumen penting ke klien. Dian senang, karena semua serba praktis dan menyenangkan.
Dian dan pasangannya adalah “generasi cashless”. Generasi yang hampir setiap hari tak mengantongi uang tunai saat berkegiatan. Mungkin sebagian besar dari kita juga seperti Dian. Perkembangan teknologi benar-benar memengaruhi kehidupan sehari-hari, membuat hidup jadi lebih mudah. Termasuk saat bertransaksi.
Tak perlu menguras waktu dan tenaga, cukup dalam genggaman, tanpa bergeser dari rumah, kita bisa melakukan hampir semua transaksi yang kita inginkan. Ya, semua itu berkat cashless, sebuah transaksi yang dilakukan tanpa menggunakan uang fisik atau tunai. Melainkan menggunakan alat pembayaran elektronik yang bermacam-macam bentuk. Mulai kertas, kartu, hingga internet banking.
“Uang elektronik pada prinsipnya merupakan salah satu bentuk instrumen pembayaran non-tunai yang dimaksudkan untuk melakukan pembayaran yang bersifat ritel dan massive. Jadi, memudahkan si pengguna dalam bertransaksi,” ujar Pungky Wibowo selaku Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia.
Di luar negeri, tren cashless seperti ini sudah sangat biasa dijumpai. Salah satunya negara yang dikenal sangat kental dengan budaya cashless adalah Swedia. Kabarnya, penduduk negeri itu hampir-hampir tak menyimpan uang tunai di rumah, karena semua serba cashless. Bagaimana dengan di Indonesia?
Gerakan non tunai. Tampaknya, tren cashless ini memang makin menjamur di Indonesia. Sejak 2014, pemerintah yang dipelopori Bank Indonesia menggagas Gerakan Nasional Non- Tunai (GNNT). Melalui gerakan ini, BI berharap agar masyarakat, pelaku bisnis, dan lembaga pemerintah mau menggunakan alat pembayaran non-tunai dalam melakukan transaksi.
