Resiko Tak Punya Kampung. “Lebaran pulang kampung, Ndy?” Setiap kali ditanya, jawaban saya selalu sama. “Yah, paling cuma ke Bandung.” Sebetulnya saya tak punya kampung. Paling tidak begitu pikiran saya. Latar belakang budaya saya agak gado-gado (ada Jawa, Sulawesi, sampai Ambon). Tapi karena sebagian besar keluarga sudah tinggal di Jakarta dan Bandung, setiap libur hari raya saya tak pernah pulang ke salah satu daerah tadi.
Tapi itu tak berarti keluarga saya tak kaya dengan tradisi dan nilai-nilai, ya. Berdoa bersama saat semua anggota keluarga sudah berkumpul itu wajib. Patuh dan sopan pada orang yang lebih tua adalah mutlak. Tak ada anak-anak yang tidak akan mengakhiri setiap kalimat dengan sapaan, seperti “Terima kasih, Tante,” “Makan dulu, Om,” sampai menjawab panggilan dengan “Dalem, Eyang.” Sekadar pulang ke Bandung pun tak berarti saya tak bisa membawa pulang “oleh-oleh” kearifan keluarga layaknya mudik ke kampung.
Saat eyang putri saya masih ada, setiap jam 7 pagi pasti saya akan menemaninya ke pasar tradisional. Menyapa para penjual langganannya, membawa belanjaan dalam keranjang (bukan kantong plastik), dan naik becak pulang alih-alih berkendara dengan motor atau mobil. Kembali ke kampung yang adalah keluarga membuat saya kembali ke kebiasaan-kebiasaan sederhana yang sarat rasa tepa selira dan kesantunan. Hal-hal yang berlawanan dengan rutinitas seharihari yang serbacepat, ringkas, sekadarnya, dan kadang... berbumbu curiga; tapi jadi “oleh-oleh mudik” bernilai bagi saya.
Saya yakin Sahabat Nova sekeluarga yang cukup beruntung bisa mudik ke kampung halaman akan membawa oleholeh yang jauh lebih berharga. Bernutrisi tak hanya bagi memori, tapi juga jiwa diri, anak, dan pasangan. Selamat menikmati oleh-oleh mudik kami di halaman Isu Spesial kali ini, Sahabat Nova. Salam hangat, Indira Dhian Saraswaty