Gosip? Tertawakan saja. Siapa yang pernah digosipin? SAYA! Yes, saya. Dan mungkin juga Sahabat Nova. Saya cukup kenyang dengan gosip, baik dulu saat sekolah, di antara keluarga, dan tentunya di kantor. Dari mulai soal nilai, kenakalan saat remaja, sampai percintaan. Muak? Wah, sudah lewat dari itu. Saya sampai bisa menertawakannya dengan tulus, sebab lama-lama ceritanya bisa jadi amat sembarangan. Meski kesal, saya berusaha cuek saja.
Hal yang sama dilakukan oleh Hilda, salah satu perempuan tangguh yang berhasil mencapai puncak tujuh gunung tertinggi dunia. “…sekalian tak usah dipikirin sama sekali. Lebih baik fokus dengan apa yang sedang kita lakukan, daripada takut,” kata Hilda. Nah, takut. Itu juga efek lain dari gosip yang kebetulan dialami seorang teman setelah beberapa kali diisukan berkelakuan buruk. Ya, takut dianggap benar oleh banyak orang, juga cemas kala sewaktu-waktu berpapasan dengan si bigos.
Ini enggak berarti saya suci tanpa cacat cela, ya. Saya juga pernah bergosip. Kenapa? Karena sebagai manusia kebanyakan, kadang perbedaan antara bergosip dan berusaha update dengan kabar dan situasi alias kepo itu tipisnya bukan main. Lalu, kita akui saja. Bergosip itu nagih.
Gosip asik dilakukan, tapi malah jarang kita diskusikan. Enak, bikin nagih, tapi berbahaya dan bisa menakutkan. Lalu, bagaimana agar tak jadi biang gosip? Bagaimana pula mengelolanya agar tak jadi momok? Semuanya ada di Isu Spesial edisi ini.
Kalau Didi dan Hilda, dua perempuan tangguh yang sukses mencapai puncak Everest dengan medan superberat saja bisa menaklukkan rasa takutnya pada ketinggian; apalagi kita yang hanya berhadapan dengan embusan kabar burung? Ayo, beranikan diri tertawakan gosip miring, Sahabat Nova. Tak layaklah ia menyita waktu dan energi kita.
Salam hangat,
Indira Dhian Saraswaty