Dulu tahu sekarang perlu wajib. Anin: Baru selesai beliin Zaya miniset, nih. Icha: Wah, serius? Zaya udah gede, ya. Udah kelas 2, kan? Anin: Iya, mau kelas 2, Cha. Padahal dulu gue pakai miniset baru kelas 3. Zaya udah mulai kelihatan. Jadi suka malu kalau pakai baju tipis. Ami: Ya, ampun! Anak sekarang cepat banget, ya.
Anin: Kalau dia mens gimana coba?! Duh, moga-moga Zaya enggak cepat-cepat. Mamaknya deg-degan, nih. Percakapan ini sungguh terjadi di salah satu grup WhatsApp yang saya ikuti. Saya yakin apa yang dialami Anin, teman saya itu, juga dirasakan oleh banyak Sahabat Nova.
Perbincangan mengenai seksualitas, memang seakan masih menjadi momok bagi kita, para orangtua. Bisa jadi hal ini lantaran kita tak pernah dibiasakan sejak dulu oleh para orangtua kita.
Tapi, mari bayangkan kalau sekarang, di masa anak-anak kita dan era percepatan teknologi informasi, mereka mengalami hal yang serupa hanya karena alasan kenyamanan kita terganggu. Apa jadi bijak kalau kita tidak menuntun mereka untuk menerima pemahaman yang tepat? Diskusi inilah yang akhirnya memicu kami di Nova mengulas soal sex and relationship education untuk anak.
Rasa deg-degan pasti ada. Mustahil lah kalau bisa santai saja. Tapi lebih baik degdegan karena mau memberitahu sesuatu yang benar, daripada cemas menuju pingsan karena dengar anak gadis kita berkata, “Ma, aku hamil,” atau “Bu, aku kanker serviks.” Duh, jauh-jauhlah itu dari kita.
Tren pubertas dini terjadi merata di seluruh dunia, Sahabat Nova. Apa yang terjadi pada Zaya juga terjadi di negeri maju macam Amerika Serikat. Artinya tak bisa lagi kita tunda-tunda mereka cepat dewasa.
Jadi bagaimana kalau kita lupakan sedikit kenyamanan sekarang, demi keamanan dan kenyamanan anak-anak kita nanti. Setuju?
Salam hangat,
Indira Dhian Saraswaty