Bahagia karena merdeka. Katanya , stereotipe yang melekat pada para lajang adalah nelangsa, terisolasi, egois. Itu sebabnya dorongan untuk menikah jadi absolut. Apalagi dengan omongan semacam, “Kapan nikah?” atau istilah perawan tua. Mereka yang menikah juga tak luput.
Pola asuh sering jadi sorotan. Ada yang bilang ibu harus 100% ada untuk anak sehingga baiknya selalu di rumah. Ada pula yang mendukung ibu bekerja agar anak lebih mandiri di kemudian hari. Diskusi semacam ini sudah dibahas panjang kali lebar oleh banyak orang. Salah satunya lingkungan pertemanan saya.
Hampir semua teman perempuan saya mengaku dirinya sudah menikmati kemerdekaan. Bisa mengejar mimpi, meraih pendidikan setinggi langit, mengalami peran ganda di rumah tangga dengan suami, sampai menikmati karier yang diidamkan. Tapi teman-teman, termasuk saya, merasa kita masih belum merdeka di beberapa hal. Seperti gundah dengan anggapan orang soal status, cemas tak dianggap sukses kalau hanya mengurus rumah tangga.
Atau enggan dibilang bukan ibu yang baik kalau gaya parenting dinilai orang berbeda. Cermati baik-baik, lalu kita pun sadar kalau semua ketakutan ini berkembangnya dalam pikiran sendiri. Jika Sahabat Nova mengalaminya, kamu tak sendiri. Justru mari saling mengingatkan, menguatkan, dan memberanikan diri untuk menaklukkannya.
Kalau kata Bung Hatta, “Keberanian bukan berarti tidak takut, keberanian berarti menaklukkan ketakutan.” Dan salah satu bapak bangsa kita ini tahu betul artinya bahagia karena merdeka. Jadi kita tak perlu takut jadi ibu yang tak sempurna, Sahabat Nova. Sebab percayalah, yang utama diinginkan anak kita adalah ibu yang bahagia. Bahagia karena menjadi perempuan yang merdeka.