Tampilkan di aplikasi

Silent complaint, bisa lebih sadis daripada silent killer

Tabloid NOVA - Edisi 1597
8 Oktober 2018

Tabloid NOVA - Edisi 1597

Lebih baik kuping sakit mendengar komplain berisik—ketimbang hati pedih gara-gara menerima komplain yang tak terdengar.

NOVA
Seperti berbohong, urusan komplain sama tuanya dengan usia peradaban manusia bahkan bisa jauh lebih tua lagi. Jadi, urusan komplain adalah soal biasa, kan? Tapi, di banyak urusan tentang komplain menjadi sangat penting. Adakah sekarang kantor yang tidak memiliki “loket pengaduan”? Bahkan, di kantor bank saja meja “customer service” yang antara lain mengurusi komplain nasabah letaknya di depan sementara meja direktur entah di lantai berapa.

Jadi, mengapa masih ragu-ragu untuk menyampaikan komplain? Kita tak pernah ragu. Tapi mungkin juga kita kok, masih saja tidak nyaring saat meng-komplain? Kita tidak suka melihat suami yang kelewat sering kumpulkumpul dengan teman, kita tak suka melihat teman tetangga semeja yang jorok, mertua yang tidak suka karena kita jarang di rumah, atasan yang komplain karena kita datang telat melulu.

Tapi semua itu disampaikan lewat sikap diam tak berbunyi. Namun gantinya, wajah cemberut, diajak ngomong tidak enak, dan sikap lainnya yang menyebalkan. Hingga, di satu hari semua komplain itu meledak dan menceraiberaikan kita hingga sulit direkatkan kembali seperti sediakala. Tapi, mengapa banyak dari kita bisa mengalami dan melakukan silent complaint, atau komplain yang senyap itu?

Menurut Anggun Meylani Pohan, M.Psi, Psikolog, memang dalam kehidupan bermasyarakat, kita kadang musti melakukan yang kita tidak suka. Kita harus tersenyum dan pura-pura bahagia meski masalah ada di depan mata. Pada perkara lain, komplain pun sering dipandang hal yang tidak sopan. Wajar saja bila kemudian kita hanya memendam semua keluh kesah daripada menyuarakan lewat komplain.
Tabloid NOVA di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.
Baca selengkapnya di edisi ini

Selengkapnya
DARI EDISI INI