Saat anak sehat fisik tak lagi cukup. Demi anak, semua kita berikan. Vitamin, makanan dan minuman, pendidikan, pakaian, semua pun yang terbaik. Kita senang saat anak sehat dan berprestasi. Namun, berita soal penganiayaan siswi SMP di Pontianak yang terjadi akhir Maret lalu mengingatkan kita bahwa anak yang sehat tak cukup. “Kalau sudah begini, memang akademis saja enggak cukup ya. Kalau anak enggak punya empati, kacau deh,” tulis salah satu Sahabat NOVA pada saya via WhatsApp.
Sesuai janji, kami di NOVA mengusut kenapa kasus di atas bisa terjadi. Bukan kasusnya yang jadi fokus, tapi apa yang harus kita lakukan sebagai orangtua, sebagai ibu, untuk mencegahnya terjadi pada anak-anak kita. Untuk itu, selain datang ke Pontianak, kami juga undang para ahli untuk berdiskusi di Ruang Kaca NOVA.
Pada diskusi itu, hadir perwakilan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), psikolog anak dan keluarga, serta dua orang Sahabat NOVA. Di hari berikutnya, tak lupa kami juga menghubungi pakar hukum. Singkat cerita, setelah berbagi pendapat, kekhawatiran, dan pengalaman, kita diingatkan lagi soal pentingnya peran orangtua dan pola asuhnya.
Ini satu kalimat yang saya garis bawahi kemarin, “Untuk mendapatkan anak yang sehat, orangtuanya harus sehat dulu.” Pernyataan Mira D. Amir, psikolog peserta diskusi menekankan lagi bahwa anak yang sehat tak cukup lagi hanya sehat fisik, tapi juga sehat secara emosional. Jadi bagaimana kita memiliki anak yang sehat sempurna seperti itu? Sahabat NOVA bisa baca bahasan lengkapnya di edisi ini.
Ada hal-hal praktis yang bisa kita lakukan sebagai orangtua, khususnya ibu, yang harapannya bisa membantu. Menurut kami, kasus AU di Pontianak bukan lagi sekedar mencari keadilan bagi korban atau menghukum pelaku agar jera. Hal yang harusnya jadi topik pembicaraan kita adalah apa yang bisa dilakukan untuk memberikan perlindungan terbaik bagi anakanak kita. Tapi ya itu tadi, Sahabat NOVA.
Seperti kata Bu Mira, untuk bisa memberi perlindungan menyeluruh pada anak-anak, tak ada salahnya kita pastikan bahwa kita pun sehat. Tak hanya lahir, lebih utama batin. Kalau kita sendiri masih belum mampu mengontrol emosi dan semudah itu ikut menghakimi anak-anak lain (contohnya mereka yang dituduh pelaku penganiayaan di atas), bagaimana kita bisa mengharapkan anak sendiri sehat jasmani rohani dan berempati? Bukan begitu?
Salam hangat, Indira Dhian Saraswaty