Dua hari lalu, saya baru menyelesaikan novel karya Cecillia Wang yang dipinjamkan teman kantor. Seperti kangen tenggelam dalam drama fiktif tanpa gambar, saya melalap ratusan halamannya dalam sehari. Biasanya setengah jalan pecah konsentrasi, hehe. Layaknya drama yang bagus, ceritanya membuat saya penasaran di awal, panik di tengah, nyaris mewek menuju akhir, tapi ikut tersipu di penutup.
Kalau kata sebuah stasiun TV, Everybody needs a drama. Mungkin itu yang buat kita, sebagian besar perempuan, suka sekali dengan novel, sinetron, serial drama, sampai seluk-beluk hidup para selebritas. Saat para pesohor menikah, bercerai, sakit, meninggal, kita bisa ikut terlarut dalam kebahagiaan juga kesedihan mereka. Menurut Deborah Carr Ph.D., seorang profesor dan sosiolog dari Universitas Boston, saat seorang pesohor meninggal dan kita turut bersedih atas kematiannya, sebetulnya itu memberikan manfaat.
Pertama, empati kita jadi terlatih dan kita bisa memahami apa yang dialami orang lain. Kedua, perasaan-perasaan yang kita alami bisa membantu kita mengingat lagi hal-hal apa saja yang sebetulnya penting bagi kita. Ketiga, berkabung massal lewat postingan atau hashtag di media sosial juga membuat kita bisa merasakan kesatuan nilai atau memori dengan lebih banyak orang. Guyubnya global, hehe.
Tapi ini saya tidak sedang berusaha jadi psikolog atau pengamat sosial, ya, Sahabat NOVA. Hanya saja kita suka lupa melihat dari sisi lain soal kejadian-kejadian yang dialami para selebritas. Berita soal Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) misalnya. Terlepas dari kesibukannya di dunia politik selama beberapa bulan terakhir, ada sisi lainnya sebagai anak yang berusaha tetap tegar saat sosok yang melahirkan dan membesarkannya tengah berjuang melawan penyakit. Kita semua pasti tahu apa rasanya: berusaha tampil kuat saat rasa di dalam seperti tak mampu lagi.
Rasanya empati yang disebut Deborah tadi bisa kita latih selama bulan puasa. Wawancara NOVA dengan AHY dan Annisa Pohan sedikit banyak bisa membantu kita memahami posisi dan mungkin kesusahan orang lain, serta sebisa mungkin berusaha meringankannya. All in all, dalam hidup, drama bagaikan bumbu. Memberi rasa, juga nuansa. Layaknya bumbu, jika terlalu berlebihan, malah mengacaukan rasa. Begitupun sebaliknya, kurang pun hambar jadinya. Jadi, takaran drama yang pas bisa tetap bermanfaat bagi hidup. Setuju?