Berobat ke Psikolog, Why Not?
Semua orang pernah stres. Itu saya setuju. Bahwa lalu dari stres meningkat ke depresi, bisa juga terjadi. Setidaknya data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) kita memang mencatat soal banyaknya warga Indonesia yang depresi dan mengalami gangguan mental emosional. Apa saja, sih, penyebabnya? Sebentar, saya beri satu data lagi, ya. Setelahnya pasti Sahabat NOVA kaget, sebab jawabannya bisa jadi tengah kita alami.
Riset kedua dibuat oleh lembaga luar negeri, Institute of the Future. Hasil penelitiannya berjudul Six Drivers of Change. Isinya tentang 6 hal yang mengubah dunia kita. Salah satunya soal reputasi pribadi dan identitas online. Mulai menarik, kan! Menurut riset itu, sekarang kita menghidupi citra diri baru dalam dunia digital. Dan itu harus dijaga baik-baik. Lewat selfie cantik, serta foto makanan enak dan kegiatan seru di tempat paling Instagrammable.
Saya jadi ikut bertanya-tanya. Pernahkah kita demi tambahan likes, followers, dan subscribers, menampilkan diri yang berbeda? Senyum palsu, pencitraan palsu? Atau kalau terima likes tinggi, kita senang. Tapi saat hanya belasan, dunia seperti tak menganggap kita ada. Perhatian kita dipenuhi dengan hal-hal apa saja yang bisa membuat reputasi diri di medsos naik. Like dan comment menjadi pengendali kebahagiaan. Seram, tapi sejujurnya itu yang sebagian besar kita hidupi sekarang.
Bagi beberapa orang, tekanan sosial di dunia maya bisa bikin stres. Komentar haters membuatnya depresi. Nah, kalau kembali ke riset pertama dari Kemenkes, dari 10 orang yang depresi, hanya 1 yang menjalani pengobatan medis atau minum obat. Lalu, apa yang harus mereka lakukan untuk mengatasi masalah kesehatan mental tersebut? Jika ditanya ke sebagian kita yang awam, jawabannya bisa antara berdoa atau pergi ke psikolog.
Sayangnya, pergi ke psikolog bukan sesuatu yang mudah kita katakan atau lakukan seperti pergi ke dokter umum. “Batukku sudah seminggu enggak sembuh. Aku ke dokter dulu, ya.” Itu umum terjadi. Tanggapan kita juga biasa. Tapi kalau kalimatnya, “Sudah sebulan enggak bisa tidur. Khawatir terus, sampai sakit kepala. Mau nangis rasanya. Aku ke psikolog dulu, ya.” Nah, ini tidak biasa.
Penyakit yang bisa melanda kita di zaman modern ini semakin beragam. Salah satunya gangguan mental emosional seperti di atas. Dan mencari pertolongan, termasuk ke psikolog, tidak berarti kita lemah atau aneh. Justru berani “berobat” adalah cara kita mengasihi diri dengan berupaya untuk sehat.