Ikhtisar
Melalui buku kecil ini, penulis mencoba mengingatkan kita soal komitmen yang sudah kita pegang selama lebih dari 70 tahun ini. Inilah Indonesia, rumah bagi semua anak bangsa, dengan berbagai latar belakang iman, suku, golongan, dan pemikiran. Tidak ada yang salah dengan komitmen itu justru dibuat oleh tokoh-tokoh pemimpin umat Islam. Mereka sudah mempertimbangkannya, termasuk mempertimbangkan benar-salahnya, dengan dalil-dalil yang mereka kuasai.
Dalam suasana itu, sayangnya, nilai-nilai Islam yang membangun dan menyejukkan justru jarang digali. Umat tetap tertinggal dalam hal ekonomi, pendidikan, serta teknologi. Agama tidak hadir dalam wajah duniawi yang unggul. Islam seakan hanya menjadi sarana untuk menuju akhirat saja.
Buku ini adalah kumpulan gagasan. Ini bukan buku akademis. Bukan pula buku fikih. Jauh dari itu. Karena itu jangan dinilai sebagai buku akademis maupun buku fikih. Ini adalah kumpulan pemahaman tentang Islam. Tidak menyediakan daftar rujukan. Ini semuanya memang sengaja, agar buku ini enak dibaca. Ini buku gagasan yang dibuat untuk dibaca santai.
Pendahuluan / Prolog
Prolog
Frasa “ ini membawa 3 makna. ini kita tegakkan untuk Republik Indonesia. Dalam Islam untuk Indonesia“ yang menjadi judul buku Pertama, Islam yang kita anut bahasa orang-orang Nahdlatul Ulama, NKRI ini sudah final.
Umat Islam tidak memerlukan negara lain. Negara ini sudah memenuhi ketentuan dan kebutuhan kita sebagai umat Islam. Jadi, kita tidak menjalankan Islam dengan tujuan agar suatu saat kita bisa menegakkan suatu negara lain, entah itu namanya Negara Islam Indonesia, Khilafah Islamiyah, atau apa pun namanya.
Makna kedua adalah bahwa Islam yang kita jalankan ini adalah Islam dengan ciri Indonesia. Islam yang cocok untuk bangsa Indonesia. Lho, bukankah Islam itu hanya satu, dan cocok untuk semua bangsa? Itu klaim yang sering kita dengar. Kenyataannya, kita berbeda dalam berbagai aspek.
Mulai dari aspek-aspek teknis ibadah dan hukum, bahkan sampai ke aspek akidah. Orang-orang akan berdalih bahwa perbedaan-perbedaan itu hanya menyangkut pada soal-soal cabang saja, bukan hal yang pokok. Entahlah, karena yang saya lihat banyak perbedaan pada masalah pokok, termasuk pada soal akidah. Lagipula, kalau kita sebut masalah cabang, apakah masalah cabang itu bukan bagian dari Islam? Makna ketiga adalah bahwa ada begitu banyak nilai Islam yang kita abaikan. Padahal nilai-nilai ini sangat penting.
Bangsa lain, peradaban lain, menjalankan nilai-nilai itu; mereka menjadi bangsa yang unggul. Kita bahkan gagal untuk sekadar menyadari bahwa nilai-nilai itu diajarkan oleh Islam. Kenapa bisa begitu? Karena kita sibuk dengan urusan surga dan neraka. Terpaku pada akhirat, sampai lupa bahwa kita masih hidup di dunia.
Tiga hal ini menurut saya penting untuk saya tegaskan.
Ada banyak orang yang kini mengalami proses kelahiran baru, berislam kembali. Islam yang sejak dulu kita jalani jadi salah di mata mereka. Negara ini tak lagi pantas dihuni, tak lagi pantas dijadikan tempat kita untuk menyatakan kesetiaan. Karena, kata mereka, ini bukan negara yang dikehendaki menurut ajaran Islam.
Demikian pula, ada banyak praktik ibadah maupun muamalah yang dianggap salah. Termasuk busana yang sudah berabad-abad dikenakan umat Islam. Tiba-tiba itu menjadi tidak islami, dan harus ditinggalkan. Tatanan masyarakat hendak diubah, menjadi lebih islami. Perempuan tak lagi boleh bekerja, cukup di rumah saja.
Peliknya, gagasan dan gerakan terkait isu-isu itu mulai menimbulkan gesekan, baik dengan umat lain maupun di dalam tubuh umat Islam sendiri. Bila dibiarkan, gesekan itu bisa memicu konflik terbuka. Ingat, negara ini sangat rentan konflik. Kita sudah melewati begitu banyak konflik.
Kerugiannya tidak hanya berupa harta benda, tapi juga nyawa manusia. Alih-alih menjaga ketenteraman, ada orangorang yang justru dengan pongah memprovokasi bahwa mereka memang berhak melakukan itu. Alasannya, karena mereka mayoritas.
Melalui perilaku yang tak dipertontonkan oleh orangorang itu, Islam tampak bersahabat. Banyak orang nonmuslim mulai merasa tak nyaman dengan keadaan itu.
Terlebih, pada saat yang sama, berbagai aksi teror terjadi di tengah kehidupan kita. Dalam suasana itu, ada segelintir orang yang secara terang-terangan malah menunjukkan dukungan terhadap tindakan biadab itu.
Orang-orang mulai mempertanyakan, apakah Indonesia sekarang ini masih Indonesia yang diproklamasikan pada tahun 1945? Apakah Indonesia ini tetap akan menjadi wadah tempat kita bersama berbagi ruang hidup? Atau, Indonesia ini sedang berproses menjadi negara eksklusif yang hanya nyaman dihuni oleh orang-orang muslim saja? Atau, janganjangan negeri ini sedang diubah menjadi hunian yang hanya cocok bagi segelintir muslim saja.
Daftar Isi
Sampul
Pengantar penerbit
Prolog
Bagian I: Islam, Komitmen untuk NKRI
Gagasan Islam KÂffah
Sistem Politik Islam
Membangkitkan Fosil Khilafah
Memusuhi Nasionalisme
Hukum Allah
Gagasan Ekonomi Islam
Riba, Bank Islam, dan Uang Kertas
Gagasan Sains Islam
Partai dan Politik Menjual Islam
Sekuler, Apa Salahnya?
Muslim, Penguasa atau Pemimpin Moral?
Lupakan Negara Islam
Bagian II: Inilah Islam Indonesia
Obsesi Satu Islam
Islam Indonesia
Keragaman itu Takdir
Toleran dan Rukun
Paranoia Kristenisasi
Memusuhi Orang Kristen
Jihad Modern
Ukhuwah Islamiyah, bukan sekadar Persaudaraan Antarmuslim
Memperlakukan Non-Muslim dengan Adil
Perempuan yang Bekerja
Jilbab, Sejak Kapan Jadi Wajib?
Hijab Syar’i dan Kehidupan Modern
Budaya dan Hiburan Nusantara
Bagian III: Islam untuk Membangun Indonesia
Islam Darah Daging
Tepat Waktu dan Negeri Modern
Mubazir dan Sukses Toyota
Kecelakaan: Antara Musibah dan Manajemen Keselamatan
Menjaga Bumi Milik Allah
Amal-amal Berjamaah
Apa Efek Puasa Kita?
Jalan Raya dan Kezaliman Kita
Pendidikan Karakter
Pendidikan Kebangsaan
Sekolah, Rumah Sakit, dan Pelayanan
Sains dan Teknologi, Masa Depan Kita
Epilog
Indeks
Tentang Penulis