Numerologhost. PEKAN-pekan belakangan, negeri ini seakan diziarahi arwah Porkas/SDSB. Angka-angka bersilang siur seronok nonjok di ruang publik. Tiga hal, setidaknya, menyeruak ke laman-laman muka. Yakni kerdilnya penguasaan tanah oleh rakyat (gagap reforma agraria); akumulasi hutang luar negeri yang kian fantastik (bukan ‘cuma’ Rp4.000 T); dan (rumor) wow meroketnya gaji presiden.
Pertama, pernyataan Amien Rais tentang “74% tanah dikuasai kelompok tertentu” itu sama sekali tak baru. Cuma jadi menyengat lantaran dibunyikan saat Presiden asyik membagi-bagikan sertifikat tanah. Dan jadi mengharu biru karena reaksi songong Menteri Luhut B. Pandjaitan. Padahal, mantan Ketua MPR itu hanya ‘membunyikan’ rasio gini lahan (versi BPS): 0,72–0,73.
Walhi mencermati, korporasi menguasai 82% (±159 juta ha). “Entitasnya memang bercampur antara domestik dan asing,” tutur Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Yaya Nur Hidayati. Modusnya, perizinan konsesi, atau Hak Guna Usaha yang bisa hingga 90 tahun. Apa lacur, yang namanya peta-peta HGU itu tidak pernah dibuka kepada publik. Menyiginya setengah mati, karena selalu dirahasia kan.
Pembagian (penyerahan) sertifikat itu murni persoalan hilir—lazimnya jadi tupoksi lurah. “Itu pun 15,4% meleset dari target. Data Kementerian Agraria, yang (sudah) selesai 4,23 juta bidang. Pemberitaan yang muncul, berhasil 5 juta,” ujar Wakil Ketua DK PAN, Drajad Wibowo. Persoalan hulunya adalah reforma agraria. Redistribusi lahan; agar warga tuna tanah jadi memiliki.
Reforma agraria harus bisa mengoreksi ketimpangan penguasaan tanah, sekaligus ketimpangan aliran manfaat dari tanah. “Jika tidak tepat konsep dan implementasinya, reforma agraria bisa kontraproduktif, bahkan menghancurkan perekonomian”. Kedua, tentang hutang (ULN). Hutang pemerintah melaju dari Rp3.165,13 T (2015) jadi Rp3.466,96T (2017).
Alhasil, per Februari saja, tembus angka Rp4.034,8 T, setara dengan rasio 29,24% terhadap PDB Indonesia. Pada APBN 2018, jumlah itu bengkak jadi Rp4.772 T. “Sebenarnya, hutang (pemerintah dan swasta) sudah di atas Rp7.000T,” ujar Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance/Indef, Enny Sri Hartati. Artinya, jika dipukul/dipikul rata, setiap manusia Indonesia terhutang Rp26,9 juta, bukan Rp13 juta.
Secara de facto, saat ini hutang dibayar dengan penerimaan pajak. Adapun rasio pajak terhadap PDB hanya 11%. Dengan realisasi yang hanya tumbuh 4% dalam 2 tahun terakhir, ekonom Indef, Bhima Yudistira, menyoal, “Bagaimana membayar hutang plus bunganya?” PR bagus buat Menteri Keuangan terbaik tapi, kata Anwar Nasution, hanya menadahkan batok kelapa ke mana-mana.
Last but not least, fatsal gaji presiden yang Rp62,74 juta konon bakal menjadi Rp553,422 juta (naik hampir berlipat 13, baca: Rp18,448 juta per hari). Fake chat ini bergegas dibantah. Namun, entah kenapa, tak terdengar polisi memburu penyebar hoax. Opo iki ‘test the water’ maning?
Salam,
Irsyad Muchtar