Tampilkan di aplikasi

Konsumsi minyak lampaui produksi

Majalah Peluang - Edisi 104
6 November 2018

Majalah Peluang - Edisi 104

Sejak 2004, status kita sebagai negara produsen minyak bumi berubah jadi net importer.

Peluang
MINYAK dan gas bumi (migas) merupakan salah satu kekayaan alam yang penting bagi kesejahteraan sebuah bangsa. Indonesia mengalami kelimpahruahan rezeki dari perut bumi itu di masa lalu. Medio 1970- 1990 merupakan masa jaya sektor migas. Pada periode tersebut, sebagaimana dicatat Reforminer Institute, sektor migas pernah menyumbang hingga 63 persen penerimaan negara.

Puluhan tahun kemudian, kondisi berubah drastis. Cadangan energi tak terbarukan itu kian menipis dan cekak. Tren sektor migas justru membuat bangsa ini harap-harap cemas. Ibarat lari maraton, angka konsumsi migas sprint meninggalkan angka produksi. Mengacu data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), konsumsi minyak bumi Indonesia pada 2015 adalah 1,592 juta barel per hari (bph) dan pada 2016 naik jadi 1,615 juta bph.

Di sisi lain, jumlah produksi relatif stagnan. Pada 2015, produksi minyak bumi hanya 786.000 bph dan pada 2016 sebesar 831.000 bph. Untuk menutupi kesenjangan itu, Indonesia yang bekas anggota OPEC berstatus sebagai pengimpor murni (net importer) sejak 2004. Proyeksi selanjutnya, yang sulit disangkal, kebutuhan konsumsi minyak bumi bakal semakin banyak.

Dewan Energi Nasional (2016) memprediksi, kebutuhan itu mencapai 1,93 juta bph pada 2025. Beruntung bahwa kondisi gas bumi lebih baik dibanding minyak bumi. Paling tidak, saat ini Indonesia bukanlah net importer gas. Meski begitu, perlu diwaspadai tren pemakaian gas dari tahun ke tahun. Produksinya cenderung menurun dari waktu ke waktu. Produksi gas pada 2011 sebesar 7.380 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD), per 2016 merosot jadi 6.630 juta MMSCFD.
Majalah Peluang di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.
Baca selengkapnya di edisi ini

Selengkapnya
DARI EDISI INI