Tani
Di tengah kegagalan New Economic Policy (NEP), PM Nikita S. Khrushchev turun ke pasar untuk pencitraan. “Idiot!” teriak Ivan, petani kentang. Dia ditangkap, divonis 1,5 tahun. Rakyat heran, biasanya cuma kerja sosial seminggu. Kok? Ternyata: Ivan didakwa membocorkan rahasia negara.
Petani kesal, video pun viral di media sosial. Ini protes gaya milenial. Tak pernah terjadi di masa lampau. Dengan harga jual komoditas yang tiarap tak masuk akal, mereka pilih membuangnya. Karung hasil tani disobek, diinjak-injak. Di Kecamatan Kayu Aro, Jambi, kentang dan kol hasil panen anyar ditebar ke tengah jalan.
Kentang petani dibeli seharga Rp3 ribu per kilogram. Normalnya Rp6-8 ribu. Cabai dihargai Rp5 ribu, normalnya Rp15-30 ribu. Bawang merah Rp6-7 ribu, wajarnya Rp13-15 ribu. Boro-boro untung, balik modal pun mustahil. Anjloknya harga hasil tani itu sudah dirasakan enam bulan belakangan. Padahal, di pasar tradisional terdekat, di Sungai Penuh, Ahad (27/1), harga sayuran relatif stabil.
Petani protes lantaran pembiaran (para pihak yang bertanggung jawab) yang kebangetan. Di Cirebon dan Pamekasan, garam ditawur ke jalanan. Di Bima, bawang dilempar ke jalanan. Di Banyuwangi, buah naga (Rp6.500 jadi Rp1.500/kilo) dibuang ke jalanan dan sungai.
Ada banyak persoalan terkait pertanian. Di antaranya ketersediaan benih unggul, pupuk/obat-obatan, pengairan, keterampilan petani, kemampuan manajemen, tantangan pemasaran, situasi niaga internasional. Campur tangan pemerintah untuk menyelamatkan petani itu fardhu ‘ain. Hampir semua negara di dunia memiliki kebijakan di bidang pertanian. Di NKRI? Sentra-sentra produksi disikapi sekadar penyebutan angka-angka pemanis narasi.
Pemerintah Jepang mengalokasikan 3,7% APBN dan memberi subsidi hingga 770% untuk sektor pertanian. Meski bukan contoh negara yang pas, kebijakan mereka menarik dikaji karena petani Negeri Sakura itu petani paling makmur dan berdaya di dunia. Amerika Serikat memulai penyusunan kebijakan yang diatur dengan UU sejak 200-an tahun lalu. Eropa mengadopsinya, via pembentukan Pasar Bersama pada 1957 (Perjanjian Roma), hingga disepakatinya Kebijakan Pertanian Bersama, 1960.
Kebijakan AS diikuti India dengan program Reformasi Aset pada 2007. Langkah ini memberi jaminan agar setiap warga (populasinya saat ini 1,324 miliar), terutama kaum miskin di pedesaan, dapat memiliki aset produktif—termasuk lahan pertanian. Statemen pihak otoritas tentang ‘produk lokal kualitas rendah’ dan “silakan tanam sendiri” menjelaskan dengan sangat terang benderang praktik oligarki nasional.
Bahwa di negeri gemah ripah loh jinawi ini berkelindan organik dan serentak kuartet kepongahan: oligarki politik, oligarki ekonomi, oligarki sosial, dan kepongahan birokrasi. Anatominya begini: secara de facto, 1% penduduk menguasai 45,9% kekayaan negara; 72% tanah dikuasai 1% penduduk; 4 orang terkaya memiliki harta setara kekayaan 100 juta rakyat miskin.
Salam, Irsyad Muchtar