Tanah airku.Statistik itu elaborasi data. (Jika) dibaca dengan cerdas, ia mengungkap fakta. Itulah ‘hikmah’ dari debat kandidat #2 untuk RI 2019-2024 kemarin. Peluru HGU petahana berefek bumerang. Ternyata, 25 grup perusahaan kelapa sawit menguasai lahan 5,1 juta hektare (51.000 km²). Setara setengah Pulau Jawa (128.297 km²). Dari jumlah itu, 3,1 juta ha telah ditanami. “Grup perusahaan itu dikendalikan 29 taipan, yang firma induknya terdaftar di bursa efek Indonesia dan luar negeri,” kata Direktur Program Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, Rahmawati Retno Winarni.
Riset TuK Indonesia dan Profundo menemukan, ke-25 kelompok perusahaan menguasai 62% lahan sawit di Kalimantan (terluas di Kalbar, diikuti Kalteng dan Kaltim); 32% di Sumatera (terluas di Riau diikuti Sumsel); 4% di Sulawesi; dan 2% di Papua. Kekayaan total mereka pada 2013 adalah US$71,5 miliar/Rp922,3 triliun. Itu angka konservatif dari kajian yang dibuat Forbes dan Jakarta Globe.
Ada 11 perusahaan yang terdaftar di BEJ, 6 di Singapura, 3 di KL, dan satu di Bursa Efek London. Namun, perusahaan terbuka tersebut, menurut Wiwin, tidak sungguh-sungguh dimiliki publik. Para taipan mendominasi 20-80 persen saham. Kepemilikan saham dilakukan melalui ‘perusahaan cangkang’, sehingga potensi pendapatan pajak negara pun semaksimal mungkin digembosi.
Pertanyaan besarnya, siapa regulator perizinan usaha tersebut? Mengapa tidak ditertibkan—jika mereka tidak berpihak kepada kepentingan ekonomi kerakyatan? Jawabannya akan terkonfirmasi dari tiga pilar ini: di sayap afiliasi haluan politik mana taipan asing dan aseng itu berdiri: nasionalis atau neolib; mereka mendukung siapa dan dilindungi siapa; lalu mereka dipelihara siapa dan memelihara siapa.
Ekspansi perkebunan kelapa sawit di Tanah Air memang besar-besaran. “Dalam 5 tahun tumbuh 35 persen (520.000 ha) atau seluas Pulau Bali,” kata Jan Willem van Gelder, Direktur Profundo, di Amsterdam. Dari 12,3 juta ha lahan perkebunan di Indonesia, 95% dikuasai oleh hanya 25 konglomerat. Ekspansi dalam skala yang luar biasa tersebut menciptakan masalah lingkungan dan sosial yang serius. Banyak masyarakat kehilangan akses terhadap tanah. Padahal, tanah merupakan bagian dari kelangsungan hidup, hak hukum atau adat selama beberapa generasi (juga ke depannya).
Penguasaan lahan oleh pengembang dan pemilik modal jelas merupakan ekses ketidakaturan dan amburadulnya manajemen pertanahan (land register dan land management). Yusril menunjukkan fakta ironis bahwa “0,2% orang Indonesia menguasai 74% tanah di Indonesia melalui konglomerasi, PT ini PT itu, real estate, pertambangan, perkebunan sawit, HPH”. Pemerintah harus secara serius mengejawantahkan agenda reforma agraria (land reform). Pendataan dan manajemen tanah yang akurat menuju statutory system yang mumpuni. Pilihan lainnya, membagi benefit budidaya tanah demi peningkatan kesejahteraan rakyat. Wallahua’lam bish-shawabi.