Suksesi. Pesta usai. Kursi-kursi dilipat. Karpet digulung. Segenap aksesori dikemasi. Hanya saja, helat 17 April lalu menyisakan banyak residu. Sampah organik dan sampah anorganik. Sehari pascaklaim sepihak ‘kemenangan’ petahana berbasis quick count plus eforia semu, sosmed dijejali beragam kecurangan yang paripurna; TSM, terstruktur sistemik masif; sebelum, ketika, dan seusai hajatan.
Pemilik kedaulatan—192,83 juta rakyat yang diakomodir DPT—telah memilih. Mereka mencoblos di 810.329 TPS; baik di Tanah Air maupun di mancanegara. Dari 2,06 juta WNI (1,07%) pencoblos seberang laut; 558.873 terkonsentrasi di Malaysia. Hasil resmi hitungan manual KPU baru diumumkan 22 Mei. Real count 100% data internal kubu 02, IPB, ITB, Demokrat memastikan Prabowo-Sandi unggul ≥60%. Paslon ini pun resmi mendeklarasikan kemenangan Koalisi Adil Makmur.
Menggabungkan pelaksanaan Pileg dan Pilpres itu lebay dan naif. Pemilu di negeri ini jadi yang terkompleks di dunia. Jangankan 2019, tahun 2004 saja Majalah Time menyebut Pileg di Indonesia paling rumit di dunia. Puluhan petugas KPPU dan aparat mati dalam tugas karena kelelahan dan faktor ‘ada udang di balik rempeyek’. Tiga hari setelah 17 April, Bawaslu RI sebut 6,7 juta pemilih tak memperoleh undangan nyoblos.
Penggunaan kardus kotak suara dan paku coblos jadi dua ironi demokrasi. Lebih dari 4 juta kotak kardus knocked down didrop ke 34 provinsi negara kepulauan terbesar di dunia. Luas daratannya 1.904.569 km² dan wilayah laut 3.257.357 km². Jelang didistribusikan, tak sedikit yang remuk kena rembesan air, lumpur, bahkan disantap rayap. Kita (sepantasnya) malu pada negara kere Zimbabwe, yang menggunakan bahan semacam tupperware untuk kotak pemilunya.
Pada Pemilu pertama, 1955, kotak itu berbahan kayu/papan. Sampai dengan 2014, alumunium jadi pilihan. Untuk Pemilu 2014, yang biayanya Rp8,5 triliun, KPU memanfaatkan 65% kotak suara dan bilik suara bekas Pemilu 2009. Ajaibnya, anggaran Pemilu 2019 dengan bahan kardus bengkak jadi Rp24,9 triliun—setelah dikonsultasikan dengan DPR. Itu pun ketua KPU masih minta dana tambahan.
Ironi kedua perkara paku dan sistem pencoblosan Kata Wapres Yusuf Kalla, tinggal dua negara di dunia, Kamboja dan Indonesia, yang masih memakai ‘cara purba’ dan ‘tak beradab’ tersebut. Asumsi pemerintah, masih banyak warga Indonesia yang berpendidikan rendah dan tidak memahami sistem centang dengan pulpen. Padahal, tingkat buta huruf penduduk dewasa sedemikian rendah (≤1 persen). Kita memilih stagnan-primitif tatkala bangsa-bangsa lain sudah beranjak menggunakan tinta anti-hapus, bahkan pemilihan elektronik.
Di atas segala karut marut pelaksanaan Pemilu terparah sepanjang sejarah, pemenang riilnya adalah rakyat Indonesia. Alhamdulillah. Saatnya Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno memimpin, 2019-2024. Menegakkan marwah dan mengembalikan kejayaan Republik Indonesia sebagai sebuah bangsa besar. Insyaa Allah.
Salam, Irsyad Muchtar