Marwah 17.08
Eforia menyambut hari kemerdekaan tetap seronok. Dari aneka lomba anak-anak dan dewasa, panjat pinang, hingga upacara bendera yang sakral. Begitulah. Setelah 74 tahun, sesekali mari cermati kembali makna asasi merdeka itu. Merdeka yang ‘harganya’ supermahal dan tak bias dikonversi dengan kurs mata uang mana pun.
Sejarah panjang para pejuang kemerdekaan bukan ikhtiar remeh. Keringat, tenaga hingga nyawa dipertaruhkan. Generasi eksisting tak sepantasnya hanya jadi generasi penikmat. Kita, kita semua, mengemban tugas yang tak kalah berat dan mulia, yaitu mempertahankan, menumbuhkembangkan dan mengisi pencapaian para pejuang yang namanya tak tercantum di makam-makam pahlawan.
Pekik merdeka pada medio abad lalu pun pasti tak sekadar heroisme romantis—yang secara reguler didengungkan ulang saban 17 Agustus. Pekik itu menandai simpul kohesi organik masyarakat Indonesia. Dari ujung timur hingga barat Nusantara, anak bangsa dengan lantang berujar: “Merdeka!” Kemerdekaaan, dengan demikian, adalah momen terbaik yang sukses mengelaborasi perselisihan, menyisihkan perbedaan nonprinsip dan memilih bersekutu dalam sebuah infrastruktur kebersamaan.
Di alam merdeka, warga negara Indonesia—yang majemuk dalam begitu banyak aspek—sejatinya berkedudukan setara. Tak boleh ada hegemoni. Tak boleh ada dominasi mayoritas terhadap minoritas. Tak boleh ada kooptasi dan subordinasi. Di negeri khatulistiwa dengan hamparan ribuan pulau ini, kita semua berkewajiban membangun rasa saling menghormati, saling menghargai. Baik ke dalam maupun terhadap masyarakat internasional. Toh kita warga dunia, warga global yang saling berketergantungan.
Merdeka itu sejatinya sebuah pintu gerbang. Pencapaian independency pada tahun 1945 barulah sebuah titik awal. Starting point. Kita sudah membebaskan dari penjajah, memang. Sebagian persoalan besar pun terselesaikan. Cuma, freedom from semacam itu hanya punya makna jika segenap anak negeri mampu memberdayakan kesadaran kolektif dengan menelurkan konsensus freedom to.
Agak disayangkan bahwa ada satu hal mendasar yang terabaikan. Yakni fatsal kebanggaan selaku warga negara. Perkara nation pride. Kita cenderung nyaman terkungkung di bawah tempurung inward looking. Happy berkompetisi di antara sesama di jagad cilik. Lupa bahwa ajang riil persaingan itu mondial adanya. Tiga perempat abad kemudian, nyatanya kita masih begitu sulit melepaskan diri dari sindrom minderwaardigheidscomplex.
Di tataran empirik, misalnya, volume barang ekspor yang makin lunglai mengimbangi kedigdayaan impor mencerminkan hal itu. Impor beras, singkong, ikan asin, gula, garam, bahkan pacul, semestinya melukai harga diri bangsa yang sempat disegani berkat kemampuannya menciptakan pesawat terbang, battle tank, dan kapal jelajah tempur. Keseluruhan produk teknologi strategis itu bersertifikasi internasional.
Amanah asasi kemerdekaan adalah merekatkan. Malangnya, polarisasi politik menjadikan bangsa ini terbelah. Ini isu krusial yang mestinya telah selesai, tapi menyeruak ke permukaan sejak 2014. Sebuah pe-er yang wajib ditanggulangi.
Salam,
Irsyad Muchtar