Kompromi
Menyusul pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Ahad, 20 Oktober, di bawah pengamanan 31.000 personel gabungan TNI-Polri (plus primata astral?), dengan senjata organik lengkap, tank, barakuda, kawat berduri, perubahan arus jalanan di sekitar Gedung MPR-DPR Senayan hingga ‘steril’ 34 nama pembantu Presiden periode 2019-2024 diumumkan di Istana, Jakarta, 23 Oktober. Tajuknya “Kabinet Indonesia Maju”.
Beberapa muka lama dipertahankan. Di sana sini muncul wajah baru. Pihak internasional merespons dengan datar. Mungkin karena jaraknya yang kelewat jauh dengan Pilpres. Sorotan pihak asing terarah ke tiga nama: Mendiknas Nadiem Makarim, pria 35 tahun ex CEO Go-Jek; Menkeu Sri Indrawati Mulyani, yang praktis menduduki pos tersebut sejak era SBY, dan Menhan Prabowo Subianto (PS), seteru politik kubu Joko Widodo di dua ajang Pilpres: 2014 dan 2019.
Elaborasi dari dalam negeri lebih to the point. Terkait Menkes dr Terawan Agus Putranto yang kontroversial dengan ‘temuan’-nya tentang brainwash; Jakgung Sanitiar Burhanuddin yang adik petinggi PDIP, TB Hasanuddin; Mendagri Tito Karnavian yang menyisakan banyak pe-er selama jadi Kapolri; Menkumham Yasonan Laoly yang orientasi kinerjanya beraroma petugas partai; Menkop-UKM Teten Masduki yang harus menyigi ulang masalah perkoperasian yang memang belum ia sentuh; dan pernyataan Menag Fachrul Razi yang dalam sepekan ini membingungkan umat Islam.
Langkah kuda PS sungguh tak mudah dipahami publik, baik massa 01 maupun 02. ‘Pengorbanan’ diri PS yang diistilahkan Dahnil Anzar Simanjuntak sebagai politik gagasan—agaknya amat relevan dengan manuver dari halte MRT Lebak bulus plus makan sate di FX Sudirman, Senayan, ritus sarapan nasi goreng di Teuku Umar, dan safari ke beberapa Ketum parpol. Tapi juga relevan sekira dipertautkan dengan kompensasi realistis sebagai pelunasan Kesepakatan Batutulis.
Keberadaan 12 wakil menteri terkesan diada-adakan. Jika pun ada reasoning-nya, komponen obyektif untuk itu niscaya sesulit mencari kutu. Diakui atau tidak, posisi wamen memang ibarat pelipur lara yang, menurut Said Didu, hanya akan jadi pengganggu dan memboroskan anggaran. Anggota DPR dari PAN, Saleh Daulay, dengan nada datar menyebut, “Saya tak menemukan nomenklatur anggaran untuk wakil menteri”.
Apakah ini kabinet pelangi? Bukan. Sebab, mitra koalisi Kubu 01 (Demokrat, Hanura, Nasdem) tak terepresentasikan dalam bentuk kursi. Zaken kabinet? Juga bukan. Sebab, tak kurang dari seorang Hendropriyono ikut angkat bicara: “banyak salah penempatan orang”. Ini kabinet kompromi radikal yang mencengangkan. Fatsalnya, dua figur partai seberang diakomodir ke dalam kabinet: PS dan Edhy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Tak hanya rakyat jelata yang bingung; kalangan yang akrab dengan literatur babon politik ikut pening: kok bisa kayak gitu? Itulah absurditas Indonesia.
Salam, Irsyad Muchtar