13,7 Triliun
Skandal gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya (Persero) meledak di pengujung tahun kalender. Nominalnya wow. Lebih besar dari kasus Bank Century (Rp7,4 triliun) dan BLBI (Rp4,6 triliun). Potensi kerugian Rp13,7 triliun. Itu hanya perkiraan awal. Riilnya bisa lebih. Padahal, perseroan plat merah ini sangat sehat pada 2016-2017.
Anehnya, KPK diam dan sembunyi kuku. Instansi PPATK, Kepolisian, BPK, BPKP, yang mestinya beri warning, entah tertidur entah berlagak tidur. Namun, Bank Dunia ikut terusik. Dua perusahaan (Bumiputera dan Jiwasraya) gagal bayar “mungkin karena (mereka) tidak likuid dan butuh perhatian segera.” Pasalnya, sekitar tujuh juta nasabah Bumiputera dengan lebih dari 18 juta polis potensial terkena gagal bayar.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyebut telah terjadi tindak kejahatan korporasi. Karena itu, Sri menolak permintaan Jiwasraya agar menyetujui Penyertaan Modal Negara (PMN) guna mengatasi gagal bayar. Tak kurang dari Presiden pun mengakui kasus ini sebagai persoalan yang sangat besar dan sangat serius.
Blunder Jiwasraya terlacak dari langkah kuda Hary Prasetyo. Direktur Keuangan Jiwasraya Januari 2008—Januari 2018 itu bertindak terlalu berani, tidak hati-hati, dan di luar kewajaran. Dia memborong saham-saham lapis tiga yang volatil dan berisiko tinggi. Di antaranya saham PT Trada Alam Minera Tbk, PT Hanson Internasional Tbk, PT Rimo International Lestari Tbk, dan PT Inti Agri Resources Tbk.
Hary juga membeli dalam jumlah yang terlalu besar (di atas 5%) saham perusahaan lapis dua. Antara lain, PT Mahaka Media Tbk (milik Erick Tohir), PT SMR Utama Tbk, PT PP Properti Tbk, dan PT Semen Baturaja (Persero) Tbk, PT Capitalinc Investment Tbk.
Bersama Dirut, Hendrisman Rahim, Hary Prasetyo menggelontor-kan pinjaman ratusan miliar dalam skema surat utang jangka pendek dan menengah kepada PT Hanson International Tbk milik Benny Tjokrosaputro dan PT Rimo International Lestari Tbk milik Teddy Tjokrosaputro.
Lalu, Dato Sri Tahir, bos Mayapada Group yang anggota Wantimpres, sekonyong-konyong membuat langkah mengejutkan. Bahwa dia akan mengakuisisi anak perusahaan Hanson dan Rimo. Ada apa? Aksi korporasi biasakah ini, atau perintah Istana? Bola kini ada di Kejaksaan Agung. Dapatkah skandal Rp13,7 triliun itu dibongkar secara tuntas—mengingat jutaan nasabah, termasuk sejumlah warga Korea Selatan, sangat dirugikan? Meski anatomi ‘perampokan’ ini sedemikian terang benderang, cetho welo welo. mantan Sekmen BUMN, Said Didu, pesimistis.
Sang ‘manusia merdeka’ menunjuk lima alasan. Pertama, jumlah (penyedotan dana) sangat besar; Kedua, terjadi saat puncak agenda politik/Pemilu; ketiga, salah satu mantan direksi (Harry Prasetyo) merupakan orang dekat Istana; keempat, penegakan hukum Indonesia dalam kondisi terpuruk dan cenderung tebang pilih; kelima, DPR sangat mudah ‘diarahkan’. Wait and see.
Salam, Irsyad Muchtar