Trap
Hanya tiga negara yang berhasil lolos dari middle income trap, gerendel negara berpendapatan menengah. Yaitu Singapura, Jepang, dan Korea Selatan. Untuk naik ke status negara berpendapatan menengah ke atas, Brazil butuh waktu 25 tahun. Malaysia perlu 22 tahun. Mexico perlu 28 tahun. Padahal, ketiga negara itu telah 10 tahun lebih menjadi negara di posisi itu; tanpa benar-benar jadi negara berpendapatan tinggi.
Secara sederhana middle income trap adalah kondisi dimana suatu negara telah berhasil mencapai tingkat pendapatan menengah, tapi stuck dan tertahan untuk berkembang menjadi negara berpenghasilan tinggi. Penyandang kategori MIC ini tak hanya sulit bersaing dengan Low-wage countries, tapi juga payah berkompetisi dengan High-technology countries.
Indonesia membutuhkan waktu 23 tahun untuk bisa masuk dalam kategori negara berpendapatan menengah ke atas, upper middle income country, dari kategori negara berpendapatan menegah ke bawah, lower middle income country. Status upper middle income itu didapat sejak World Bank mengumumkannya, 1 Juli 2020.
Tak mudah menjadi negara berpenghasilan tinggi. Banyak negara dunia ketiga yang sudah puluhan tahun tertahan (ditahan) naik, berhenti pada posisi negara berpendapatan menengah. Artinya, mereka by design terjebak dalam middle income trap. ”Agar terlepas dari predikat middle income trap, dibutuhkan pertumbuhan ekonomi > 6% per tahun,” ujar Menkeu, Sri Mulyani.
Apa pun makna implementatofif-nya, dalam tiga bulan terakhir, pendapatan nasional bruto (gross national income/GNI) Indonesia tercatat US$4.050, naik dari US$3.840. Secara prinsip, World Bank menyebut syarat menjadi negara high income country (HIC) adalah memiliki Pendapatan Nasional atau Gross National Income (GNI) ≥US$12.055 per kapita. Rinciannya, GNI sebasar US$3.896—12.055 per kapita disebut Upper middle income, US$996—3.895 per kapita tergolong Lower middle income, dan < US$996 per kapita adalah Low income country.
Per 2019 lalu, Indonesia memiliki GNI sebesar US$4.050 per kapita, meningkat dari US$3.840 pada 2018. Meski begitu, untuk beranjak dari status upper middle income ke high income, atau bahkan mempertahankan status upper middle income country di tengah limbungnya perekonomian global akibat pandemi Covid-19, perekonomian Indonesia perlu peningkatan tiga kali lipat.
Kerusakan begitu banyak aspek akibat wabah Covid-19—yang sulit diprediksi kapan benar-benar berakhir—akan berdampak amat masif. Logikanya, diperlukan kebijakan extraordinary pemerintah untuk mengurangi dampak akibat penyebaran virus Covid-19. Agar kita tak hanyut sebagai bangsa, rumuskan desain jadi (negara) merdeka secara finansial.
Caranya? Dengan tidak menjalankan GBHN negara lain, khususnya Tiongkok, melalui protokol kolonialisasi 5.0 mereka dengan perangkap OBOR, One Belt One Road. “Kita (berjalan) tanpa GBHN,” kata pemerhati geostrategi, Mardigu Wowik, “Sepanjang 18 tahun terakhir yang kita lakukan hanya menghabiskan dana APBN.”
Salam, Irsyad Muchtar