Metode
Sejak pandemi corona menginfeksi Indonesia, Maret 2020, berlaku Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Sebenarnya, sekolah tatap muka sudah bisa dilaksanakan sejak keputusan SKB 4 Menteri, 30 Maret 2021 tentu dengan penerapan disiplin prokes yang cermat.
Keputusan membuka sekolah itu di tangan pemerintah daerah, tapi harus disetujui kepala sekolah dan perwakilan orang tua murid. Biaya ke sekolah dari rumah tidak murah. Belajar di rumah tidak efektif. Dapat ilmunya tipis, tak ada keterampilan laboratorium, kehilangan skill olah raga, kesenian dan keterampilan sosial lainnya.
Umplek-umplekan di rumah, sempit, gak ada komputer/gadget, padahal 2-3 anak memerlukannya. Belajar dari rumah banyak stres, banyak wacana tanpa tindak nyata. Diskusi-diskusi doang, eksekusinya ngambang.
Bukankah 463 juta anak di dunia alami kesulitan akses pembelajaran jarak jauh? Sampai kapan absurditas Indonesia, jika begini terus cara mengelola generasi muda? WHO dan World Bank menjawab: sampai 2025. Setidaknya sampai awal 2023.
Padahal, kita mau sampai 2021 saja. Pada tahun 2045, cuma 24 tahun lagi, ada 40% populasi Indonesia yang kini 7-23 tahun, yang 20 tahun lagi akan jadi tulang punggung keluarga, bangsa dan negara—tapi tanpa keterampilan, tak paham local wishdom, dan praktis jadi generasi kambing congek.
Menteri Nadiem Makarim cukup menyadari risiko pendidikan online. Ia jujur bilang, pembelajaran jarak jauh selama pandemi Covid-19 menimbulkan dua dampak serius. Yakni ancaman putus sekolah (drop out) dan risiko generasi yang hilang (lost generation).
Zonasi daerah kuning dan hijau harus dipastikan berlaku baik bagi murid, sekolah, ataupun gurunya. Sistem zonasi jangan hanya didasarkan lokasi sekolah yang hanya berada di tingkat kabupaten atau kecamatan. Harus diperkecil sampai ke tingkat kelurahan.
Mereka belajar di rumah didampingi orangtuanya yang rerata belum tentu mengerti materi. Karenanya, perlu ada pengoptimalan fungsi kelompok masyarakat. Kelurahan ataupun instansi pemerintah bisa memberi akses wifi (gratis) untuk para murid.
Guru-guru datang ke kelurahan untuk belajar bersama di situ. Atau akai model pemberdayaan, yang senior ngajari yunior. Ini sesuai prinsip Ki Hajar Dewantoro bahwa tiap orang adalah murid dan setiap orang adalah guru.
Model pembelajaran yang mungkin bisa jadi alternatif PJJ adalah dengan dibentuknya kelompok-kelompok belajar di desa-desa. Kelompok belajar ini bisa dilakukan di balai-balai desa, balai RW, atau taman-taman di perkotaan.
Model kelompok belajar dengan setengah online dan setengah dengan pembimbingan. Dengan cara ini protokol menjaga jarak mudah diwujudkan.
Konstelasi 2045 jadi krusial karena Indonesia saat itu beroleh bonus demografi. Populasi Indonesia 70%-nya berusia produktif (15-64 tahun), dan 30% sisanya tidak produktif (usia <14 tahun dan >65 tahun) pada periode 2020-2045.
Salam,
Irsyad Muchtar