PCR
Angka penjualan hasil memPCRkan rakyat Indonesia selama pandemi Rp23 triliun. Itulah omzet 10 jutaan PCR (polymerase chain reaction) test. Katanya untuk kemaslahatan rakyat. Pemiliknya pejabat berkuasa. Dan rakyat harus membayar harga tinggi untuk sebuah tes yang nilainya hanya Rp13.000.
Tatkala terbongkar kasus korupsi bansos (oleh) Mensos Juliari Peter Batubara Rp32,4 miliar, dan dia dijatuhi hukuman 12 tahun penjara; banyak yang berpikir tindakan itu sudah cukup bejat. Tapi ternyata masih ada langit di atas langit. Bisnis PCR test di tengah paceklik ekonomi rakyat jelata jauh lebih eksploitatif: Dia yang bikin aturan. Dia owners peralatan. Dia yang menentukan harga. Dia juga yang jualan.
Rekapitulasi yang disusun Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan yang berunsurkan ICW, YLBHI, LaporCovid-19, dan Lokataru cukup menyentak. Setidaknya Rp23 triliun uang berputar dalam bisnis tusuk hidung ini. Didapat keuntungan Rp10,46 trilun selama periode harga Rp900 ribu hingga Rp495 ribu/Rp525.000.
Berdasarkan pagu penanganan Covid-19 sektor kesehatan tahun 2020, realisasi penggunaan anggaran hanya terserap 63,6% dari Rp 99,5 triliun. Kondisi keuangan tahun ini pun tak beda jauh. Per 15 Oktober, dari Rp193,9 triliun alokasi anggaran penanganan Covid-19 untuk sektor kesehatan, baru terserap 53,9%.
Sepanjang rentang pemberlakuannya, tiga kali penurunan harga jasa pelayanan pemeriksaan PCR mengisyaratkan bentuk tiadanya transparansi dan akuntabilitas. Di awal pandemi, harga tes PCR Rp2,5 juta. Oktober 2020, pemerintah menetapkan jadi Rp900 ribu. Sepuluh bulan kemudian jadi Rp495 ribu/Rp525 ribu. Terakhir 27 Oktober 2021, harga PCR jadi Rp275 ribu/Rp300 ribu. Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan 2014-19, nge-tweet, “Di India cuma Rp96.000.” Ajaibnya, narasi yang berkembang justru kian menjauh dari cita-cita Reformasi. Kok seenaknya ngomong: ”Saya nggak ambil untung”. Poinnya bukan soal untung atau tak untung, masbro. Sesat pikir begini sudah kelewat jauh. Ini sepenuhnya masalah pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. “LBP dan Erick Tohir jadi sorotan terkait tindak pidana kolusi dan nepotisme,” ujar Agustinus Edy Kristianto.
Sudah waktunya mengekspos UU No 28/1999. Ancaman UU ini serius: pidana maksimal 12 tahun penjara. Kok tak/belum ada yang memperkarakannya? Problemnya bukan politik hukum, tapi politik penegakan hukum. Tantangan nyata di depan mata Presiden, sebagaimana dikatakan Agustinus: Anda mau jadi Bapak Nepotisme Nasional atau mau jadi Pembaharu Hukum yang progresif dan adil. Masih ada waktu 3 tahun untuk unjuk bukti; meski legitimasi publiknya makin ambyar.
Diamnya Presiden atas dua anak buahnya yang nyata-nyata nirmoral dan menyebal secara hukum menyisakan tanda tanya besar. Tak tahukah dia? Atau cuma belagak pilon? Satu hal yang kian sulit disembunyikan: cengkeraman oligarki di negeri ini makin kasat mata, bukan?
Salam,
Irsyad Muchtar