Jebakan
Hegemoni baru dalam perekonomian dunia lewat ‘Sabuk Ekonomi Jalur Sutra Baru’ (New Silk Road Economic Belt) dan jalur lautan ‘Jalur Sutra Maritim Abad ke-21’ (21-st Century Maritime Silk) membuahkan hasil. Kedua slogan itu disebutkan dalam dokumen terbuka di sidang pleno ketiga Komite Sentral ke-18 Partai Komunis Cina di Beijing, medio November 2013.
Dengan membuahkan hasil dimaksudkan bad story buat negara-negara penerima pinjaman. Dari 50an negara berkembang yang diutangi Cina, 23 di antaranya dililit kesulitan keuangan. Delapan di antaranya dalam kondisi mengkhawatirkan dan bisa terancam bangkrut. Yakni Pakistan, Djibouti, Maladewa, Laos, Mongolia, Montenegro, Tajikistan dan Kyrgystan.
Pakistan menambah utang US$62 miliar, 80% di antaranya porsi Cina. Utang luar negeri publik Djibouti kini 85% dari PDB. Maladewa (US$1,23 miliar); Laos (US$6,7 miliar), hampir setengah PDB-nya; Mongolia (US$1 miliar); Montenegro (US$1 miliar); Tajikistan (80% dari total peningkatan hutang luar negeri selama 2007- 2016); dan Kyrgystan (US$1,5 miliar pada akhir 2016, sekitar 40% dari total utang luar negerinya).
Pada 2017, Sri Lanka (utang US$1,5 miliar gagal bayar) harus menyerahkan pengelolaan Pelabuhan Hambantota kepada Cina untuk masa kontrak 99 tahun. Utang US$4 juta Zimbabwe diputihkan setelah mata uang negara mereka berganti menjadi Yuan. Nasib serupa terjadi pada Nigeria (utang US$3,48 miliar gagal bayar), yang kini juga terpaksa menggunakan mata uang Yuan. Nigeria pun berisiko kehilangan aset nasional utama jika mereka gagal membayar utang.
Uganda (utang US$207 juta pada 2015) harus kehilangan Bandara Internasional Entebbe. Sri Lanka (utang US$8 miliar, atau 94% dari PDB) harus menyerahkan pelabuhan (2017) dan bandaranya (2018) untuk dikelola Cina selama 99 tahun. Di Djibouti, Cina bahkan telah membangun pangkalan militer pada 2017. Berdampingan dengan pangkalan militer AS, Jepang, Italia dan Prancis. Pangkalan selanjutnya bisa dibangun di mana saja di Afrika, dari Mauritania hingga Namibia.
Di Indonesia, berbagai proyek Turnkey Cina tersebar di banyak provinsi—dimana uang, bahan baku, dan tenaga kerja semuanya mereka borong habis. Proyek-proyek itu mencakup infrastruktur, tambang dan energi. Adalah manusiawi jika makin ke sini makin mendenyut kecemasan yang logis-realistis: ‘Akankah proyek-proyek di Tanah Air bernasib sama dengan proyek OBOR Cina di berbagai negara di Benua Hitam sana?’ Tentu saja, orang berkuasa semacam LBP, yang memuja Cina setinggi langit, bakal membantahnya dengan sengit. Padahal, lebih serius dari sekadar kecemasan pengambilalihan aset-aset nasional kita akibat kompensasi gagal bayar, migrasi penduduk unskill Daratan besar-besaran dari negeri berpopulasi 1,45 miliar itu (mestinya) dipandang sebagai pelecehan dan intervensi kedaulatan yang serius. Untuk kepuasan manipulatif macam apa kita kok merasa heroik mengibarkan jargon NKRI harga mati tanpa esensi?
Salam,
Irsyad Muchtar