Mulutmu
Mulutmu harimaumu, frasa itu kini semakin laris saja. Jangan asal bicara jika tak ingin berurusan dengan aparat keamanan. Setidaknya jika Anda ingin ngomong asal ngejeplak kudu punya backing kuat. Misalnya, seperti Gusdur yang pernah menyindir DPR-RI seperti taman kanak-kanak. Ketika pernyataan itu ‘digoreng’ oleh media massa, sontak viral. Anggota legislatif geram, marah dan menuding Presiden yang ceplas-ceplos itu rada gila.
Seolah menjadi common enemy kala itu, para penghuni Senayan pun kompak memakzulkan Gusdur pada 23 Juli 2003, ia di dakwa terlibat skandal Buloggate dan Bruneigate. Usai berhenti jadi presiden, tokoh NU itu tetap nyinyir, bahkan makin berani menurunkan level kelakuan para anggota DPR RI setara Play Group. Toh, ia amanaman saja. Tak ada anggota dewan yang terhormat mengadukan Gusdur ke Kantor Polisi atas tuduhan pencemaran nama baik terhadap lembaga tinggi negara.
Di era oligarki kini, kegaduhan di rumah wakil rakyat itu kian meredup, seolah kompak menjaga mulut masing-masing. Kendati demikian, ada saja mulut yang keceplosan, Arteria Dahlan (AD) politisi muda yang dikenal arogan, kembali bikin ulah. Dalam rapat resmi Komisi III DPR RI dengan Kejaksaan Agung, ia meminta Jaksa Agung memecat seorang Kajati di Jawa Barat lantaran menggunakan bahasa Sunda dalam sebuah rapat.
Kendati , dibanjiri hujan kritik dan kecaman, anggota dewan yang terhormat, pemilik lima mobil mewah berplat nomor polisi sama ini, aman-aman saja. Tetapi begitulah realita hukum yang tajam ke atas tumpul ke bawah, mereka yang punya backing kuat di lingkaran kekuasaan bisa dengan bebas ngomong apa saja. Tidak demikian dengan orang pinggiran sekelas Edy Mulyadi (EM), yang diciduk paksa menginap di ‘hotel prodeo’ lantaran sembarangan ngomong soal Jin.
Wartawan yang tiba-tiba jadi vokalis medsos ini resmi ditahan tim penyidik Bareskrim Polri, 31 Januari 2022, terkait dugaan ujaran kebencian. Layak kah ia ditahan? Bagi penguasa yang tengah panik dan gelap mata semua serba layak, meskipun hukum menstatir seseorang tidak bisa dipidanakan karena menghina bahasa atau daerah.
“Belum ada pasal yang dapat memidanakan tindakan tersebut, “ujar Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika, Prof. Henry Subiakto. Dalam kasus itu, EM juga tidak dalam tuduhan menyebarkan berita bohong atau menyinggung SARA. Bagaimana jika EM terbukti bersalah ? Lagi-lagi ada jawaban asbun dari pejabat, seperti gurauan Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi. Jika EM bersalah karena menyebut calon ibu kota negara sebagai ‘tempat jin buang anak’, maka Jin juga harus dimintai keterangan di persidangan kasus itu. Setidaknya Jin harus ditanya apakah marah dituduh buang anak sembarangan. Sekadar bercanda memang, tetapi narasi itu mengandung makna yang dalam.
Salam,
Irsyad Muchtar