Subsidi
Pukul 14:00 WIB, Sabtu 3 September 2022. Harga baru Pertalite, Pertamax dan Solar yang ‘dikondisikan’ Bahlil Lahadalia, Luhut dan Sri Mulyani mulai berlaku. Jika anggaran subsidi BBM tidak ditambah pada tahun ini, kata Sri, akan membebani anggaran subsidi di 2023. Hitungan dia, harus ditambah Rp195,6 triliun dari total subsidi tahun ini yang besarannya Rp502 triliun.
Menghapus subsidi BBM jelas kebijakan tidak populer. Sebab, perlu upaya keras untuk meyakinkan masyarakat, “bahwa kebijakan tersebut diperlukan agar pemerintah dapat menyediakan anggaran cukup untuk kebutuhan lain yang memberi manfaat lebih besar bagi orang miskin,” ujar ekonom Faisal Basri.
Nomenklatur subsidi itu sendiri telanjur salah kaprah dalam 20 tahun terakhir. Subsidi ditafsirkan bantuan. Yang benar: kehadiran pemerintah dalam mendorong masyarakat yang tidak mampu agar bisa memiliki memiliki daya beli, kata Maman Abdurrahman, Wakil Ketua Komisi VII DPR.
Jika ‘subsidi’ BBM berlanjut, dinarasikan APBN bakal jebol. Padahal, per Juni 2022, APBN surplus Rp100 triliun. Mengutip Sri Mulyani, “Setiap kenaikan BBM US$1, APBN bertambah Rp17 triliun,” ujar Anthony Budiawan, Managing Director at Political Economy and Policy Studies.
Hitung-hitungan logis berikut layak disimak. Hasil lifting (minyak mentah yang disedot dari dalam perut bumi Indonesia) yang miliknya bangsa Indonesia sebesar 70%. Kalau lifting seluruhnya 339,28 juta barel/tahun (data April 2008), milik bangsa Indonesia 70%-nya berarti 237,5 juta barel/tahun.
Produksi yang haknya kita: 237,5 juta kiloliter. Konsumsi 60 juta kiloliter. (1 barel = 159 liter). Maka 60 juta kiloliter = 60 juta : 159 = 377,36 juta barel. Terjadi kekurangan 139,86 juta barel yang harus dibeli dari pasar internasional US$120 per barel (kurs Rp10.000), toh masih kelebihan uang tunai.
Mengapa pemerintah mempunyai pikiran bahwa subsidi sama dengan pengeluaran uang tunai? Mengapa DPR menyetujuinya? “Itulah yang menjadi pertanyaan terbesar buat saya yang sudah saya kemukakan selama 10 tahun (sejak 1998) dalam puluhan tulisan di berbagai media massa. Dibantah tidak, digubris tidak,” kata Kwik Kian Gie, Menko Ekonomi 1999–2000.
Biaya produksi minyak dari menggali minyak, kilang, hingga distribusi ke Pom Bensin adalah US$10/brl. Paling banter cuma US$15/brl. Mau harga minyak dunia naik sampai US$200/brl pun, biaya produksi tidak akan berubah. “Jadi, kalau pemerintah bilang rugi…rugi…rugi..., itu dusta belaka,” ujar Kwik.
Minyak itu milik bersama rakyat Indonesia. Bukan milik perusahaan minyak atau pemerintah Indonesia. Tak pantas dijual dengan harga “internasional” dan bertentangan dengan UU Migas tahun 2001. Jika demikian halnya, solusinya adalah nasionalisasi. Cina, Norwegia, Arab Saudi, Iran, dan Venezuela sudah menasionalisasi perusahaan minyak asing yang memonopoli. Sekarang mereka makmur karena tidak lagi dibohongi oleh perusahaan minyak asing.
Salam,
Irsyad Muchtar