Mandeg
Bagaimana mengukur kemajuan koperasi di Indonesia? Secara normatif, tentu saja jika manfaatnya dirasakan oleh anggota. Ia bisa berbentuk koperasi mandiri seperti kebanyakan Credit Union yang berprinsip dibangun dan dijalankan serta diawasi anggotanya melalui pendidikan. Pembentukan koperasi juga tidak masalah jika dikomando dari atas (government sponsored co-operative), seperti KUD di masa Orde Baru. Yang jadi masalah, bagaimana interaksi anggota sebagai pemilik dan sekaligus pengguna jasa koperasi (dual identity). Jika, keberadaan anggota tak lebih hanya sekadar orang lain, seperti halnya nasabah di perbankan, koperasi bersangkutan saatnya melakukan reposisi, kembali ke khitahnya.
Jika pertanyaan itu ditujukan kepada otoritas pembina koperasi, yakni pemerintah, jawaban pertama adalah pada paparan panjang kualitatif pertumbuhan koperasi yang signifikan dari tahun ke tahun. Hal ini untuk menunjukkan bahwa pembinaan koperasi sudah berlangsung on the right track. Bagaimana jika kopeasi yang dibina sulit berkembang? Sejumlah alasan disiapkan, mulai dari kelemahan modal, manajemen, sumberdaya manusia dan kelembagaan.
Tudingan miring seperti itu sudah sejak lama disampaikan berulang-ulang oleh bahkan sejak Menteri Bustanil Arifin memimpin Departemen Koperasi (1987- 1992). Selanjutnya, sejak masa Subiakto Tjakrawedaya hingga Teten Masduki kini, pegiat koperasi terus menerus dijejali beragam formula pengembangan koperasi secara bongkar pasang. Publik sepertinya mafhum, setiap ganti menteri pastinya ganti kebijakan. Subiakto misalnya, di tahun pertama menjabat menteri koperasi, langsung mengubah nomenklatur departemennya dengan menambah embel-embel ‘Pembinaan Pengusaha Kecil'.
Butuh satu periode bagi Subiakto untuk memaksakan kehendaknya menjajarkan koperasi sekelas usaha kecil sebelum kemudian pada periode kedua jabatannya ia terguling oleh gelombang reformasi. Adi Sasono, menteri koperasi berikutnya yang tampil singkat lebih menegaskan eksistensi koperasi dengan kebijakan populisnya yang terkenal. Retribusi Aset, program memindahkan sebagian aset kekayaan para konglomerat kepada rakyat banyak. Di masa Adi Sasono, dua koperasi rakyat di Kalimantan Timur menerima hak pengelolaan hutan seluas 24.000 hektar; sebuah bisnis raksasa padat modal yang sebelumnya hanya kavling khusus milik kalangan pengusaha besar kroni. Lantaran itu ia dinilai berbahaya dengan julukan Indonesia’s Most Dangerous Man.
Ketika program penciptaan 70 Koperasi Berkualitas dan Gerakan Masyarakat Sadar Koperasi (Gemaskop) digulirkan, perkoperasian boleh dibilang memasuki masa subur. Sepanjang periode 2004-2009, koperasi meningkat 12,7 persen dari 130.730 unit menjadi 155.301 unit. Pada putaran berikutnya (2009-2014) pertumbuhan kian meningkat. Di 2012 jumlahnya sudah 192.443 unit dan akhir 2014 mencapai 203.701 unit.
Pertumbuhan yang masif itu kiranya berkorelasi dengan program populis Kementerian Koperasi UKM yang tengah mengucurkan dana bergulir hingga lebih dari Rp3 triliun. Dan kita kembali mafhum bahwa umumnya koperasi tumbuh lantaran ingin mendapat modal murah dari pemerintah, dan pengelolanya sama sekali tidak memahami prinsip dan jati diri koperasi.
Kendati koperasi hanya disejajarkan dengan UKM, namun minat masyarakat untuk berkoperasi terus tumbuh. Selain menjadi jalan pintas menggaet dana murah pemerintah, regulasi dan pengawasan yang longgar menjadi titik tolak bagi menjamurnya koperasi, terutama sektor keuangan, Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Ditengarai, sejumlah bankir yang tergerus oleh likuidasi perbankan 1998 hijrah mendirikan KSP alih-alih Bank Perkreditan Rakyat yang berada di bawah kontrol ketat Bank Indonesia.
Maka bisa dimaklumi jika kebanyakan operasional KSP mirip perbankan dan mengabaikan prinsip dual identity yang jadi ciri keanggotaan di koperasi. Implikasinya pun muncul beragam, mulai dari usaha yang mandeg di tengah jalan, gagal bayar, hingga pemailitan koperasi. Dengan agak ragu kita bertanya, sampai kapan perlakuan diskriminatif terhadap koperasi berlangsung?
Irsyad Muchtar